Friday, December 28, 2012

PENCABUTAN PENGUSAHA KENA PAJAK


Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi, dapat simpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Artinya bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika melakukan penyerahan Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban tersebut.

Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di bawah ini.

PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut, peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN. Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena omset sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya, maka PT ABC pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil, kecuali PT ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk : 
1.      Memungut PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
2.      Menyetor PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
3.      Melaporkan PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:

1.      Mengkreditkan PPN yang dipungut oleh suppliernya
2.      memperoleh kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh berikut (Kita masih menggunakan PT ABC yang sama dengan contoh di atas) :
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
1.      PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
2.      PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
Aspek Perpajakan (PPN) dari dua transaksi di atas adalah sebagai berikut:
1.      PT XYZ menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp 1.000.000,00. Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:
a.       Bagi PT XYZ faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
b.      Sedangkan bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
2.      PT ABC menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar Rp 1.500.000,00:
a.       Bagi PT ABC faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
b.      Bagi Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
3.      PT ABC kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
a.       Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur Pajak Keluaran) 1.500.000,00
b.      Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
c.       PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
d.      Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan Pajak Masukan.
4.      Sejumlah Rp 500.000,00 tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.

Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di atas, apabila :

PT XYZ k`rena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.

Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC. Akibatnya, PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).

Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

REVIEW PERATURAN DIRJEN PAJAK PER 24 / PJ / 2012 TENTANG FAKTUR PAJAK



Dalam peraturan ini, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak, PKP perlu mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password download disini secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak download disini ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak.

Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP. Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos).

Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah :

1.      Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak;
2.      Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password;
3.      Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya;
4.      Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya;
5.      Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang;
6.      PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak tidak lengkap;
7.      Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Peraturan DIRJEN PAJAK PER 24 / PJ / 2012 download disini

Wednesday, December 26, 2012

Inggris Anggap Starbucks Malas Bayar Pajak

Pajak selalu dianggap memberatkan oleh para pengusaha. Beberapa di antara perusahaan-perusahaan besar bahkan melakukan berbagai cara untuk menghindari pungutan ini. Di Inggris, parlemen mengkritik sejumlah perusahaan global karena hanya membayar pajak dengan jumlah sedikit atau bahkan tidak sama sekali.

Di antara perusahaan besar yang dikritik adalah Starbucks dan Amazon. Ketua Komisi Anggaran Umum Parlemen, Margaret Hodge, menilai, badan pajak dan cukai HRMC harus lebih tegas dalam menghadapi para penghindar pajak.

Apalagi, perusahaan-perusahaan internasional itu meraup hasil penjualan ratusan juta poundsterling setiap tahun.

Starbucks, misalnya, mendapatkan hasil penjualan £400 juta di Inggris tahun lalu, namun tidak membayar pajak sama sekali karena sebagian besar keuntungan yang didapat dikirimkan ke perusahaan cabang di Belanda dalam bentuk royalti.

HMRC mengatakan telah meminta perusahaan internasional itu untuk membayar pajak berdasarkan hukum di Inggris. Perusahaan-perusahaan yang berkantor di Inggris disyaratkan membayar pajak perusahaan dari keuntungan tempat perusahaan itu beroperasi.

Masih dianggap tak wajib

Laporan komite parlemen itu diterbitkan setelah mendengar bukti dari para eksekutif Starbucks, Google dan Amazon tentang jumlah pajak perusahaan yang dibayar di Inggris.

Hodge khawatir pembayaran pajak perusahaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajib seperti tindakan sukarela.

"Perusahaan-perusahaan global ini mendapat keuntungan di Inggris. Yang kami tekankan adalah, bila ada aktivitas ekonomi di Inggris, dan ada keuntungan maka harus bayar pajak," tandas Hodge.

Starbucks saat ini tengah mengadakan pembicaraan dengan HMRC terkait jumlah pajak yang mereka bayar selama ini.

Menteri Keuangan Inggris George Osborne akan menggunakan dana sebesar £154 juta untuk melacak perusahaan besar dan orang-orang kaya yang menghindari pajak.

Sumber : Kontan.co.id / 5 Desember 2012

Perjanjian Kerjasama Percepatan Pengurusan dan Penertiban Sertifikat Tanah di Provinsi Lampung

 Kementerian Keuangan di Provinsi Lampung dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara (BPN) Provinsi Lampung melaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerjasama Percepatan Pengurusan dan Penertiban Sertipikat Tanah Kementerian Keuangan Republik Indonesia.  Kementerian Keuangan di Provinsi Lampung meliputi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Bengkulu dan Lampung, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Lampung, Kantor Wilayah V Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Provinsi Lampung dan KPPBC Tipe Madya Pabean B Bandar Lampung.

Kegiatan yang diselengarakan di Aula Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung tersebut terselenggara berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 271/KMK.06/2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara Pada Kementerian Negara/Lembaga dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor: 186/PMK.06/2009 Nomor: 24 Tahun 2009 Tentang Pensertipikatan Barang Milik Negara Berupa Tanah.

Perjanjian tersebut mengatur dalam hal pengukuran dan pemetaan, penertiban keputusan Pemberian Hak Atas Tanah, penertiban Sertipikat Hak Atas Tanah terhadap bidang tanah dan tindakan – tindakan lainnya yang dianggap perlu dalam rangka melakukan percepatan pengurusan hak dan penerbitan sertipikat tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Kepala Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, Peni Hirjanto, menyambut baik perjanjian kerjasama ini.  “Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung sangat mengapresiasi kegiatan perjanjian ini dan semoga dapat berjalan dengan baik.” tuturnya.

Namun demikian, Peni juga berharap akan ada kerjasama-kerjasama lainnya yang dapat terjalin khususnya antara Kanwil BPN Provinsi Lampung dan Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung. Misalnya dengan melakukan sosialisasi terhadap bendahara-bendahara di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Lampung guna mengawasi kewajiban perpajakannya.

Gayung bersambut, Kepala Kanwil BPN Provinsi Lampung, Syafriman pun sangat mengapresiasi harapan tersebut.  “Kami menyadari bahwa banyak bendahara-bendaraha di lingkungan BPN Provinsi Lampung yang tidak mempunyai background tentang perpajakan.  Sehingga sangat kami harapkan adanya kerjasama-kerjasama lainnya khususnya dalam hal perpajakan.” pungkasnya.

Sumber : Pajak Nasional

Friday, December 14, 2012

Jasa Persewaan Ruangan

Jasa persewaan ruangan termasuk dalam jenis jasa persewaan barang tak bergerak yang atas penyerahannya. Hal tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali jasa persewaan ruangan di bidang perhotelan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Jasa di bidang perhotelan yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai meliputi :

1.      jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap;
2.      jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel.
Jasa persewaan ruangan yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai selain jasa di bidang perhotelan antara lain :
1.      jasa persewaan ruangan untuk perkantoran;
2.      jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha atau pertokoan;
3.      jasa persewaan ruangan untuk tempat tinggal, apartemen, flat;
4.      jasa persewaan ruangan untuk pertemuan (convention hall);
5.      dan lain-lain jasa persewaan ruangan sejenisnya.
Yang Perlu Dilakukan Oleh Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan
Pengusaha Jasa Persewaan Ruangan selain di bidang perhotelan yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan dengan nilai peredaran bruto lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), wajib :
1.      mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
2.      memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
Menghitung PPN Atas Jasa Sewa Ruangan
1.      Dasar Pengenaan Pajak atas sewa ruangan adalah jumlah penggantian atau imbalan atau nilai sewa ruangan dalam keadaan kosong yang diminta atau seharusnya diminta oleh PKP yang menyewakan ruangan, tidak termasuk service charge.

PPN yang terutang adalah : 10% x Jumlah Nilai Sewa
2.      Dasar Pengenaan Pajak atas service charge adalah:
a.       Penggantian yakni sebesar nilai tagihan
b.      jumlah service charge yang diminta oleh Pengusaha Kena Pajak yang menyewakan ruangan.
Service charge, yaitu imbalan atas jasa yang menyebabkan ruangan yang disewa tersebut dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh penyewa.
Service charge dapat terdiri dari biaya listrik, air, keamanan, kebersihan, dan biaya administrasi.
PPN yang terutang adalah 10% x Jumlah Service Charge.
Pengkreditan Pajak Masukan

1.      Bagi PKP yang menyewakan ruangan dapat mengkreditkan PPN (Pajak Masukan) yang dibayar atas perolehan barang dan jasa untuk pengoperasian gedung atau ruangan yang disewakan.
2.      Bagi Pihak yang menyewa ruangan:
a.       apabila penyewa adalah PKP, maka PPN (Pajak Masukan) yang dibayar atas ruangan yang disewa merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, sepanjang Faktur Pajaknya memenuhi ketentuan pembuatan Faktur Pajak.
b.      apabila ruangan yang disewa mempunyai fungsi ganda misalnya digunakan untuk tempat usaha dan tempat tinggal, maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebanding dengan bagian ruangan yang digunakan untuk tempat usaha.
Misalnya bangunan yang disewa terdiri dari tiga lantai, lantai satu digunakan untuk pertokoan, selebihnya digunakan untuk tempat tinggal. PPN (Pajak Masukan) yang dapat dikreditkan adalah sebanding dengan luas ruangan (bangunan) yang digunakan untuk tempat usaha yaitu sepertiga dari jumlah PPN (Pajak Masukan) yang dibayar atas ruangan (bangunan) yang disewa tersebut.

Kegiatan Membangun Sendiri Yang Dikenakan PPN

Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila :
 
1.      kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain, termasuk yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

2.      Bangunan adalah berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a.       konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b.      diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha;
c.       luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak

1.      Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2.      Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
3.      Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.
Saat Dan Tempat Pajak Terutang
1.      Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.
2.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3.      Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran Dan Pelaporan
1.      PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan pada setiap bulannya, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
2.      Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan mempergunakan SSP lembar ketiga bukti setoran PPN paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
3.      Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
1.      Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut;
2.      Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.