Monday, January 21, 2013

Subsidi Tidak Ekuivalen Dengan Kesejahterahan (Opini)

Berikut ini ada tulisan menarik dari sdr Aris Nor HamdanAris Nor Hamdan, seorang pegawai Dirjen Pajak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bahan Bakar Minyak merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi kendaraan kita dalam rangka mobilitas manusia sendiri untuk mencapai sebuah tujuan hidup bersosialisasi dengan kehidupan di lingkungan sekitar layaknya sebagai makhluk sosial. Apabila kita melihat perkembangan teknologi hingga saat ini, sudah banyak sekali model transportasi yang bertujuan mempermudah perpindahan seseorang antar daerah tanpa bergantung dengan transportasi umum yang mengalami keterbatasan dalam hal waktu operasi serta armada terlebih saat terjadinya arus mudik maupun arus balik liburan panjang bagi pengembara pulang menuju kampung halaman demi bertemu sanak saudara setelah bekerja di perantauan demi mencari rezeki bagi keluarga yang menjadi tanggungannya.

 Selain itu, Bahan Bakar Minyak juga dibutuhkan dalam hal pengoperasian alat-alat produksi sebuah perusahaan untuk menjalankan roda perekonomian sekaligus pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangaan perpajakan yang berlaku. Timbal balik dari pembayaran pajak sendiri sebagai kontibutor penerimaan terbesar APBN negara ini adalah pembangunan infrastruktur dan prasana guna menunjang mobilitas rakyat Indonesia sekaligus subsidi Bahan Bakar Minyak guna menyejahterakan masyarakat di saat harga minyak dunia semakin meroket tanpa diimbangi kualitas produksi minyak bumi yang terkandung di nusantara nan luas ini.

Subsidi Bahan Bakar Minyak masih dikaji terus menerus oleh badan eksekutif dan legislatif dengan tujuan tidak memberatkan seluruh kalangan ekonomi dengan mempertimbangan harga pasar minyak dunia. Namun, perbedaan masih tampak jelas antara harga solar untuk kendaraan umum dan solar untuk industri di harga pasaran negeri ini. Entah pertimbangan apa yang mendasari perbedaan tersebut, jika ditilik lebih jauh solar merupakan Bahan Bakar Minyak yang sangat bermanfaat dalam segala hal seperti menjalankan alat-alat produksi di dunia pertambangan dan menjalankan mesin genset yang berguna di saat listrik padam maupun tambahan daya listrik yang besar di saat hajatan acara sakral sebuah keluarga seperti pernikahan maupun sunatan. 

Selain itu, solar juga memudahkan pengguna kendaraan bermotor dalam menjalankan mesinnya termasuk speed boat yang melayani penyeberangan antar pulau jarak dekat. Kalau melihat perkembangan daerah baru berkembang seperti di Kabupaten Tanah Bumbu, sudah seharusnya subsidi Bahan Bakar Minyak itu mempercepat perputaran kegiatan ekonomi di daerah ini. Namun pada kenyataannya hal itu tak sejalan dengan harapan masyarakat yang tinggal di kabupaten berusia 9 tahun seperti Tanah Bumbu tersebut. Terbukti masih banyaknya penjual Bahan Bakar Minyak eceran di sekitar SPBU yang beroperasi hanya beberapa jam saja.

Sekitar tahun 1990-an sebelum krisis moneter mendera negara ini, mengingat kondisi alam dan kondisi keamanan Kalimantan yang belum stabil saat itu menimbulkan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam di nusantara ini semakin merajalela sehingga menyebabkan korban jiwa di kalangan masyarakat yang menambang secara tradisional di tempat penambangan hutan pun dihentikan bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Namun saat itu harga dan persediaan solar masih normal serta sistem distribusi masih tergolong sederhana dengan metode penyimpanan solar di tangki yang mendiami gudang dan pembelian dapat berasal dari Depo Pertamina maupun kapal tangker dengan cara jemput bola ke tengah lautan sekitar 30-40 mil dari daratan. Untuk metode jemput bola sendiri, koordinasi antara distributor dengan kapten kapal sangat rapi supaya dapat menentukan koordinat kapal tangker bertemu dengan kapal tangki yang dibawa oleh distributor guna melakukan transaksi 30 ton solar per perjalanan pengangkutan.

Sebenarnya kapal tangker itu membawa solar dari depo pusat seperti Balikpapan menuju depo cabang di Kotabaru, namun kuota tangkinya selalu melebihi dari jumlah yang seharusnya diangkut sehingga kelebihan tersebut dapat diperjualbelikan kepada distributor. Selisih hargapun tergolong mengiurkan bagi para distributor semisal saja harga dari depo 450 per liter sedangkan harga di tangker bisa mencapai 300 per liter. Sedangkan muat tangker itu biasanya 150.000 ton namun order mungkin sekitar 100.000 ton saja setiap kali angkut jadi keuntungannya mencapai puluhan juta untuk transaksi langsir tersebut.

Sistem langsir merupakan sistem penjualan Bahan Bakar Minyak dengan metode masyarakat membeli Bahan Bakar Minyak dari SPBU menggunakan jerigen, maupun mobil yang sudah dimodifikasi mengangkut BBM kemudian dijual kepada penambang ilegal dengan harga lebih tinggi hingga mencapai harga Rp 7.000 per liter. Sedangkan Sistem Penjualan di tengah laut merupakan sistem penjualan kapal transporter BBM dan kapal-kapal Pertamina kepada kapal industri maupun kapal perusahaan dimana transaksi terjadi seketika dan sekaligus itu juga artinya pembayaran berupa uang tunai menggunakan koper.

Pemilik SPBU yang menyalurkan solar bersubsidi terkadang menjual sebagian kepada industri tanpa menggunakan nota penjualan, bukti penjualan maupun faktur pajak sehingga transaksi tersebut tidak dilaporkan dalan laporan keuangan.  Jadi transaksi tidak sesuai dengan Delivery Order yang seharusnya disesuaikan dengan pesanan yang telah dijanjikan sebelumnya.  Dampak negatif dari transaksi seperti ini adalah ketika sebuah SPBU hanya beroperasi dalam hitungan jam saja per hari yaitu ketika sebuah tangki pengantar datang dan dalam waktu bersamaan sudah banyak pengantri solar yang telah menunggu sejak beberapa jam sebelumnya. Padahal di sekitar SPBU masih terdapat stok solar yang melimpah yaitu di pedagang Bahan Bakar Minyak yang telah tertimbun demi memperoleh keuntungan yang melimpah.

Kalau dilihat dari aspek perpajakan, bukti laporan keuangan saat dianalisa tidak dapat ditemukan transaksi ilegal solar tersebut karena transaksi uang tidak ada dalam laporan keuangan seperti melalui transfer bank melainkan hanya berupa uang tunai.  Sebenarnya, transaksi ilegal solar tersebut sudah dianggarkan tersendiri oleh perusahaan terbukti dari adanya pos-pos pendanaan yang digunakan untuk pembiayaan keamanan transaksi ilegal kepada pihak berwenang yang berada di wilayah kerja mulai dari tingkat terendah hingga pihak komando militer  di daerah sekitarnya.  Jadi transaksi ilegal seperti ini memang benar-benar terjadi di dunia industri namun hal ini penerapannya tidak dapat dibuktikan secara teori tetapi kenyataan di lapangan masih saja terdapat transaksi ilegal biasanya dilakukan di dalam hutan di gunung maupun jalan raya saat dini hari sehingga merugikan pengguna solar lainnya yang benar-benar membutuhkan demi mobilitas di daerah Kalimantan lainnya yang teramat jauh untuk mencapai daerah lainnya.

Fungsi Subsidi untuk Kemandirian bangsa sebenarnya dapat benar-benar tercapai jika semua pihak berperan serta dalam bidang perpajakan dengan asas kejujuran dan akuntabiltitas tinggi sehingga Penerimaan Negara akan tertolong dengan setoran pajak yang terus meningkat dari kebutuhan APBN. Namun seiring dengan berjalannya waktu ke depan seperti ini, mungkin agak sulit untuk memberantas praktek penjualan solar ilegal ini karena masih adanya pihak yang tidak bertanggung jawab atas pemanfaatan wewenang atas tugasnya. Subsidi BBM yang bertujuan menyejahterakan rakyat malah menjadi bumerang bagi Negara ini ketika praktek ilegal tersebut hanya menguntungkan pihak swasta yang lupa akan kewajiban perpajakannya. Salah satu jalan keluar dari masalah ini adalah penghapusan subsidi BBM, sehingga tidak ada perbedaan harga antara solar kendaraan dan solar industri demi mengurangi praktek ilegal atas penjualan solar.

Semoga dewan eksekutif dan legislatif mendengarkan keluhan rakyat atas langkahnya Bahan Bakar Minyak di negeri nan kaya minyak ini. Apabila pengelolaan minyak negara ini berjalan dengan baik dan benar maka tidak mustahil jika Indonesia menjadi negara makmur seperti Negara-negara Arab, namun tujuan itu belum tercapai secara tepat karena praktek ilegal seperti ini masih merajalela dan sulit diadili atas perbuatannya. Semoga pelaku industri di Indonesia introspeksi diri atas segala tingkah laku yang tak sesuai dengan aturan perundang-undangan  perdagangan yang berlaku di negara ini.

Thursday, January 17, 2013

Ditjen Pajak Siapkan 16 Langkah Strategis di Tiga Bidang Untuk Amankan Pajak 2013

"Untuk amankan penerimaan pajak tahun 2013, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyusun berbagai langkah-langkah strategis di tiga bidang, yaitu bidang Kebijakan, bidang Kepatuhan dan bidang Kegiatan Pendukung", ungkap Dirjen Pajak Fuad Rahmany di Kantor Pusat DJP Jakarta, Senin, 14 Januari 2013.
Pertama di bidang Kebijakan (Policy), DJP siapkan tujuh langkah strategis berupa:

(1) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Sehingga pajak yang dikenankan atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi adalah sebesar 2%,
(2) Melakukan penomoran faktur pajak yang selama ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) guna menekan jumlah faktur fiktif,
 (3) Melaksanakan pungutan pajak untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet sampai dengan Rp.300 juta sebesar 0,5% dan untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet Rp.300 juta sampai dengan Rp.4,8 milyar sebesar 1%,
(4) Mengkaji rencana penetapan batasan terhadap debt of equity ratio (DER) untuk menekan perusahaan besar dan menengah melaporkan utang dengan tujuan untuk penghindaran pajak,
(5) Mengkaji batasan biaya promosi untuk mencegah perusahaan melaporkan biaya promosi yang berlebihan dengan tujuan untuk meminimalisasikan pajak,
 (6) Menunjuk Bank-Bank BUMN, PLN, Pertamina dan Telkom sebagai Pemungut PPh Pasal 22 guna meningkatkan efektivitas penarikan PPh dan mengurangi kemungkinan PPh tidak disetor, dan
 (7) Menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Harga Batubara Acuan, PPh Final Saham Sendiri, dan Transfer Pricing. "RPMK ini tengah digodok oleh Kementerian Keuangan," ujar Fuad.
Kedua di bidang Kepatuhan (Compliance), DJP akan: (1) Memanfaatkan data hasil olahan teknologi informasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) berbasis sektoral, (2) Menunjuk beberapa lembaga untuk memberi data elektronik perpajakan, (3) Melakukan pemeriksaan khusus terhadap perusahaan terkait pembayaran PPh Pasal 21 pada Semester Pertama 2013 karena ada indikasi banyak perusahaan hanya menyetor 80%-95% PPh Pasal 21 dari yang seharusnya disetor, (4) Melaksanakan ekstensifikasi pro aktif melalui kegiatan Sensus Pajak Nasional (SPN) dan optimalisasi pemanfaatan hasil SPN tahun 2011-2012, dan (5) Peningkatan detterent effect (efek jera) dengan melakukan kegiatan penegakan hukum perpajakan yang tegas bersama aparat penegak hukum. "Saat ini DJP akan berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian sesuai dengan MoU yang telah disepakati dan ditandatangani bersama pada tahun lalu," tandas Fuad.

Dan ketiga di bidang Kegiatan Pendukung (Supporting), DJP akan melaksanakan langkah-langkah strategis yang antara lain meliputi: (1) Penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) secara bertahap, (2) Pengalokasian SDM yang lebih tepat sesuai potensi dan kompetensi, (3) Pengembangan kapasitas SDM terutama untuk para Account Representative (AR) dan Pemeriksa Pajak, dan (4) Menyiapkan kelengkapan operasional dan logistik untuk mendukung kebijakan di bidang perpajakan. "Langkah-langkah strategis tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak pada 2013," kata Fuad.

Saat ini, penerimaan pajak 2013 ditargetkan Rp 1.042,32 triliun atau naik 24,79 persen dibanding dengan realisasi penerimaan pajak Tahun 2012. "Penerimaan tersebut memberikan kontribusi sebesar 68,14 persen dari rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 yang sebesar Rp1.529,67 triliun," jelas Fuad.

News : Ditjen Pajak

Tuesday, January 15, 2013

RSBI dan Pajak

Oleh : Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (sumber : wikipedia.org)
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

 Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Trias van deventer khususnya bidang pendidikan membawa dua dampak sekaligus. Sisi positifnya walaupun bangsa penjajah, belanda menyadari hanya dengan pendidikan mereka dapat mencetak tenaga-tenaga administrasi yang handal. Administrasi dan birokrasi pemerintah kolonial yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini adalah bidang hukum dan beberapa sistem administrasi pemerintahan. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (plat nomor kendaraan) adalah salah satu warisan belanda. Sisi negatifnya, pada masa kolonial pendidikan tersegmentasi antara kaum priyayi/kaya/bangsawan dengan pribumi biasa. Situasi jaman kolonial seolah dihidupkan lagi dengan sistem RSBI beberapa waktu lalu.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sangat tepat sekali. RSBI telah menciderai hak dasar anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang layak guna menunjang masa depan mereka. Kisah yang saya tulis berikut ini adalah kisah nyata yang dialami seorang anak pinggiran yang termarjinalkan karena uang. Ahmad adalah anak cerdas yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Ibunya buruh linting rokok disebuat koperasi mitra perusahaan rokok terkenal di negeri ini. Sedangkan ayahnya hanya seorang nelayan dengan penghasilan tergantung angin dan ombak.

Singkat cerita selepas menyelesaikan pendidikan dari SMP, dia bercita-cita melanjutkan SMA faforit di kota itu. Nilai hasil Unas juga sangat memuaskan dan mendukung untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun sayang, pihak sekolah dengan berbagai macam alasan demi kenyamanan ruangan memakai AC, komputer, dll. Orang tua Ahmad tidak mampu memenuhi biaya masuk sekolah yang melangit itu. Dan anak cerdas itupun terdampar di SMK (bukan SMA sesuai cita-citanya) disekolah yang menurut dia kurang favorit.

Sebagai buruh pabrik sebenarnya Ibu Ahmad telah memenuhi kewajiban berpartisipasi membayar pajak pasal 21. Walaupun entah berapa prosentasenya terhadap penerimaan pajak nasional atau penerimaan APBN, namun secara egaliter dia telah sukarela menyumbang negara sesuai kemampuannya. Namun disisi lain sebagai WNI, anaknya ditolak mendapatkan hak akses pendidikan yang lebih baik. Disinilah peran dan eksistensi pemerintah harus melindungi, melayani, dan memfasilitasi para anak bangsa yang ingin berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Sebagaimana membayar pajak adalah hak dan sekaligus kewajiban membela negara, mendapat layanan pendidikan yang bagus adalah hak setiap warga negara sekaligus kewajiban tiap orang untuk memperbaiki dan memperjuangkan masa depannya melalui pendidikan tinggi. RSBI ibarat tirani yang harus diberangus agar akses pendidikan untuk rakyat miskin proletar bisa setara dengan kaum borjuis/priyayi/bangsawan.

Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. Namun sayangnya banyak sekolah yang masih berkutat dengan pembangunan fisik sekolah. Sertifikasi guru dengan tunjangannya, belum optimal digunakan untuk meningkatkan SDM, tapi justru untuk kegiatan konsumtif. Berkaca pada negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di dunia (finlandia) kualifikasi guru SD adalah S2. Kita semua sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa dengan tingkat pendidikan yang tinggi. kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda dan bukan mendewakan uang dan kemampuan finansial untuk mengaksesnya. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

Namun Ingat ! Negara butuh biaya untuk melakukan itu semua. Sebagai penutup tulisan ini, penghapusan RSBI semoga dapat menjadi titik tolak yang menginspirasi setiap kita agar sadar dan tahu  konsekwensi hidup bernegara adalah bergotong royong, pepatah bilang ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Negara memerlukan biaya untuk melaksanakan pendidikan murah, sepatutnyalah warga negara harus sadar dan sukarela membantu negara dengan menyisihkan sedikit penghasilan atau laba usaha untuk membayar pajak.

Monday, January 14, 2013

Agitasi Pajak Rokok 2014

Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah.

Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.

Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan / pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok).

Saat ini Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan terus mengkaji strategi dan mekanisme pemungutan Pajak Rokok yang akan diberlakukan pada tahun ini. Diharapkan dengan adanya Pajak Rokok ini penerimaan daerah akan meningkat dan tercipta pembangunan daerah.

Penulis:
Bayu Prasetia Adi Pamungkas
Mahasiswa STAN Tingkat 2 AE Akuntansi Pemerintahan

Saturday, January 12, 2013

Saat Bangsa Indonesia bersama-sama berjuang Anti-Korupsi Pajak


Kali ini kami akan sharing sebuah tulisan menarik dari saudara  Wiyoso Hadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimana beliau beropini mengenai korupsi yang kerap dan sudah menjadi akar budaya di dunia perpajakan. Simak tulisannya.


Sungguh menggembirakan bahwa dua tahun belakangan ini, pemerintah dan masyarakat sebagai whistle blower bahu-membahu memerangi berbagai kasus-kasus korupsi di sektor pajak. Penyelesaian kasus terakhir yang paling hangat, Asian Agri Grup (AAG), tak lepas dari kinerja bersama Kemenkopolhukam, Kemenkeu, Kemenkumham, Kejagung, Polri dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Sebagaimana diberitakan media massa, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada akhir 2012 lalu menyatakan bahwa terdakwa mantan manajer pajak Asian Agri, Suwir Laut, bersalah dan dihukum pidana penjara dua tahun dengan masa percobaan selama tiga tahun dan mewajibkan dalam waktu satu tahun ke depan. 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG yang pengisian SPT tahunannya diwakili terdakwa, wajib membayar sejumlah 2 x Rp1.259.977.695.652 = Rp2.519.955.391.304,-. Dengan kata lain, putusan tersebut merupakan perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung jawaban perusahaan) yaitu vicarious liability, dimana perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana pegawainya.

Kalangan masyarakat pun berharap agar pemerintah tidak berhenti di pajak karena pengemplangan pajak oleh AAG pasti berkaitan dengan pencucian uang dan korupsi. Sehingga harus ditindaklanjuti oleh pemerintah agar AAG dicabut izin usahanya. Hal itu antara lain didengungkan oleh Kooordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi dan pengamat hukum Hermawanto.

AAG hanya salahsatu dari berbagai kasus-kasus sengketa pajak yang dimenangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berdasarkan data Kemenkeu, kemenangan pemerintah atas berbagai kasus sengketa pajak terus meningkat. Pada tahun 2009, kemenangan pemerintah atas kasus sengketa pajak sebesar 35,59%, kemudian tahun 2010, meningkat menjadi 36,74%. Lalu tahun 2011 mencapai 50,57%. Ini bukti nyata bahwa kinerja DJP semakin baik dan aparatnya semakin berintegritas tinggi sehingga tidak mudah goyah oleh iming-iming dari wajib pajak (WP) nakal.

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan RI Agus Dermawan Wintarto Martowardojo di media massa, kunci sukses kemenangan pemerintah atas berbagai kasus sengketa pajak karena beberapa pembenahan internal yang dilakukan oleh DJP. Pertama, meninjau pemenuhan persyaratan formal dan kecukupan data dan bukti hasil pemeriksaan pajak. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dalam sistem informasi perpajakan. Dan ketiga, aktif mengajukan banding dan peninjauan kembali (PK) ke MA.

Relatif cepatnya penyelesaian kasus sengketa pajak AAG didorong oleh keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak pada awal tahun 2011. Sebagai tindak lanjut Inpres tersebut, terbentuklah Tim Gabungan Inspektorat Jenderal Kemenkeu-BPKP yang berkoordinasi dengan KPK untuk fokus menyelesaikan dua kasus penyimpangan pajak yang melibatkan mantan pegawai DJP Gayus Tambunan dan penggelapan pajak AAG.

Hingga kini, Tim Gabungan itu telah menyelesaikan audit investigasi atas penanganan pemeriksaan, keberatan, dan banding pajak terhadap 40 WP yang pernah ditangani Gayus, yakni mencakup 61 putusan pengadilan pajak dan dua WP terkait sunset policy. Dari hasil audit itu, 3 WP dilimpahkan ke KPK; 6 WP diusulkan pemeriksaan bukti permulaan pajak dan pemeriksaan ulang, serta sisanya dilakukan upaya administrasi.

Dari hasil audit investigasi Tim Gabungan ditemukan dugaan pelanggaran atau penyimpangan 19 WP dengan potensi kerugian negara Rp 645,99 miliar dan US$ 21,1 juta. Kemudian terkait kasus sunset policy atas 2 WP, ada potensi kerugian Rp 339 miliar.

Tentu kita berharap agar kasus-kasus penyimpangan pajak dapat terus diminimalisasi dengan dukungan penuh dari berbagai sektor dan pihak terhadap upaya-upaya konsisten DJP yang terus melakukan reformasi birokrasi dan membangun budaya korektif di tempat kerja, serta dukungan publik berupa kesadaran masyarakat dan ketaatan WP dalam membayar pajaknya dengan tepat waktu dan benar. Mari kita teguhkan bersama untuk TIDAK Korupsi Pajak! Wujudkan Indonesia bersih dengan bersama-sama berjuang Anti-Korupsi Pajak. Bebaskan Indonesia dari korupsi. Maju terus Indonesia!

Thursday, January 10, 2013

Mari Sukseskan Sensus Pajak Nasional!!!

Dalam melaksanakan pembangunan di semua sektor, pemerintah tentu membutuhkan dana yang diantaranya berasal dari pajak. Pada dasarnya, pajak merupakan kontribusi wajib berdasarkan undang-undang, yang harus dibayar oleh seluruh Wajib Pajak tanpa mendapat imbalan secara langsung yang akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setiap warga Negara Indonesia yang telah berpenghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) wajib untuk membayar pajak. Setiap badan usaha wajib terdaftar sebagai Wajib Pajak dan melakukan kewajiban perpajakannya.

Menyadari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah melaksanakan kegiatan Sensus Pajak Nasional. Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan usaha yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak, dapat melaksanakannya sesuai ketentuan perpajakan.
Sensus Pajak Nasional pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan.

Sungguh tidak adil apabila ada masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih ada juga masyarakat yang belum membayar pajak. Seharusnya masyarakat memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan rasa bangga bayar pajak. Mari kita sukseskan Sensus Pajak Nasional. Ayo Peduli Pajak!

Sekilas Sensus Pajak Nasional
Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sensus Pajak Nasional dilaksanakan dengan tujuan untuk :
  1. Perluasan basis pajak
  2. Peningkatan penerimaan pajak
  3. Peningkatan jumlah penerimaan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan PPh (Pajak Penghasilan)
  4. Pemutakhiran data Wajib Pajak
Dalam Sensus Pajak Nasional, petugas Ditjen Pajak akan melakukan :
  1. Pendataan kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak);
  2. Konsultasi perpajakan;
  3. Sosialisasi hak dan kewajiban Wajib Pajak; dan
  4. Pengawasan kepatuhan kewajiban Wajib Pajak.
Oleh karena itu diharapkan masyarakat dapat mendukung program Sensus Pajak Nasional ini, dengan berpartisipasi menyampaikan data dan informasi melalui pengisian Formulir Isian Sensus (FIS). Setiap orang pribadi dan badan usaha yang disensus wajib memberikan keterangan yang benar.

Dasar Hukum Sensus Pajak Nasional
Dasar hukum pelaksanaan Sensus Pajak Nasional adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentangPajak Bumidan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994/li>
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Sensus Pajak Nasional.
Latar Belakang Sensus Pajak Nasional
Roda pembangunan nasional dapat terus bergerak dan perekonomian Negara dapat terus tumbuh karena adanya penerimaan negara. Semakin besar penerimaan Negara tentuakan semakin banyak fasilitas publik yang dapat disediakan pemerintah. Penerimaan Negara dapat ditingkatkan jika ada perluasan basis pajak. Perluasan basis pajak tersebut dapat diwujudkan jika terdapat data yang akurat mengenai potensi pajak. Itulah mengapa Sensus Pajak Nasional sangat diperlukan agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terwujud melalui pengunaan uang pajak.

Manfaat Sensus Pajak Nasional
Berikut ini manfaat yang diharapkan dari penyelenggaraan Sensus Pajak Nasional :
  1. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional
  2. Mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakan
  3. Mengurangi ketergantungan pembiayaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dari pinjaman/utang
  4. Mewujudkan pembangunan nasional yang lebih baik dengan kemandirian bangsa
  5. Meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia
Sasaran Sensus Pajak Nasional
Sasaran Sensus Pajak Nasional adalah bagi mereka yang :
  1. Belum ber-NPWP, diberikan NPWP
  2. Belum bayar pajak, agar membayar pajak
  3. Belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT
  4. Memiliki utang pajak, agar melunasinya
  5. Belum optimal membayar pajak, agar membayar pajak sesuai dengan ketentuan
Sensus Pajak Nasional akan dilakukan kepada orang pribadi dan badan usaha di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk lebih jelasnya, ikuti tautan ini. Bangga Bayar Pajak!

sumber :  Pajak Nasional

Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak



1.       Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat :
a.       Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau STP yang tidak benar; dan/atau
b.      Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan yang penerbitannya tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP.
Untuk SKPKB atau SKPKBT tersebut harus yang tidak diajukan keberatan, diajukan keberatan tetapi telah dicabut oleh WP atau diajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan.
2.       Permohonan pengurangan atau pembatalan tersebut harus memenuhi ketentuan :
a.       1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) STP, atau surat ketetapan pajak termasuk surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
b.      Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c.       Mencantumkan jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut penghitungan WP disertai dengan alasan yang mendukung permohonannya;
d.      Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar;
e.      Surat permohonan ditandatangani oleh WP, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.

Permohonan WP dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan permohonan kedua harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali untuk permohonan pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan WP dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan WP. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh WP dianggap dikabulkan dan harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan.
Keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan WP. WP dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.

Tuesday, January 8, 2013

Penomoran Faktur Pajak Diatur Kembali



Ketentuan dalam membuat Faktur Pajak (FP) sekarang mengalami perubahan signifikan terutama dalam hal sistem penomoran. Hal tersebut diatur dalam PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang berlaku per 1 April 2013. Dengan penerbitan ketentuan baru ini, diharapkan berbagai pelanggaran berkenaan dengan ketentuan perpajakan khusunya tentang Pajak Pertambahan Nilai akan berkurang secara signifikan. 

Sebagai contoh, untuk pemberian Nomor Seri Faktur Pajak, PKP disyaratkan telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password dan telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir. Selain itu, untuk mendapatkan Kode Aktivasi, disyaratkan terhadap PKP telah di lakukan Registrasi Ulang atau verifikasi. Dengan ketentuan baru ini tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak akan meningkat dan penerbitan Faktur Pajak Fiktif akan berkurang.
Beberapa hal terkait dengan penerbitan Faktur Pajak sesuai PER-24/PJ/2012 yang baru tersebut, Wajib Pajak perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Saat Pembuatan Faktur Pajak
Menurut Peraturan yanglama PER-13/PJ./2010 jo PER-65/PJ/2010, faktur pajak harus dibuat pada:
a.    saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.    saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.    saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.    saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Di Peraturan yang baru (PER-24/PJ/2012) ditambahkan satu kondisi baru, yaitu saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Selain penetapan saat penerbitan Faktur Pajak, di ketentuan ini juga di atur sanksi apabila ketentuan tentang saat penerbitan Faktur Pajak tersebut tidak dipenuhi, terhadap PKP akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 UU KUP. Apabila Faktur Pajak diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud di atas, PKP dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
Akibatnya, PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya sebagai Pajak Masukan.

2.    Penomoran Faktur Pajak
Sistem penomoran Faktur Pajak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di sistem penomoran yang baru ini, jumlah digit Nomor Faktur Pajak tetap 16 (enam belas) digit, tetapi dengan pengaturan yang berbeda, yaitu:
a.    2 (dua) digit Kode Transaksi;
b.    1 (satu) digit Kode Status; dan
c.    13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Hanya pada bagian 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak ini saja yang mengalami perubahan yang signifikan. Di ketentuan yang lama Nomor Seri Faktur Pajak ini hanya terdiri atas 10 (sepuluh) digit saja dan diterbitkan secara urut mulai dari 0000000001 tiap awal tahun.
Di ketentuan yang baru ini, Direktorat Jenderal Pajak yang akan memberikan nomor Faktur Pajak secara blok sesuai permintan Wajib Pajak.
Sebagai contoh, PKP meminta 100 Nomor Seri Faktur Pajak, maka Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
a.    900.13.00000001 s.d. 900.13.00000100;
b.    900.13.99999901 s.d. 901.13.00000000;
c.    900.13.99999999 s.d. 901.13.00000098, dan sebagainya.
Catatan:
Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur Pajak ke PKP sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai dari Nomor Seri 900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri Faktur Pajak 000-14.00000001 demikian seterusnya.

3.    Pengajuan Permohonan Kode Aktivasi dan Password
Agar dapat diberikan Nomor Seri Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password terlebih dahulu agar dapat memperoleh Nomor Faktur Pajak. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kode Aktivasi dan Password ke PKP setelah PKP memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    PKP telah dilakukan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak dan laporan hasil registrasi ulang verifikasi menyatakan PKP tetap dikukuhkan; atau
b.    PKP telah dilakukan verifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012

4.    Tatacara mengajukan Kode Aktivasi dan Password
Tatacara mengajukan Kode Aktivasi dan Password di atur sebagai berikut:
a.    Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengajukan permohonan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.
b.    Dalam hal Surat Permohonan sudah diisi dengan lengkap, PKP menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS).
c.    Dalam hal permohonan Kode Aktivasi dan Password disetujui, PKP akan menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi melalui jasa kurir ke alamat PKP sesuai  dengan data yang ada pada sistem di KPP dan menerima Password melalui surat elektronik (email). Dalam hal permohonan ditolak, PKP akan menerima surat Penolakan Pemberian Kode Aktivasi yang dikirimkan oleh KPP melalui jasa ekspedisi ke alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk pertama kalinya Permohonan Kode Aktivasi dan Password dan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal 1 Maret 2013.

5.    Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak
Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar, akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan permintaan PKP, dengan syarat PKP telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password. Selain itu, diperlukan pula syarat lain yaitu PKP telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir, yang telah jatuh tempo, secara berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.

6.    Penunjukkan dan Penandatangan Faktur Pajak
Sebagaimana telah di atur di Peraturan terdahulu, PKP berkewajiban untuk memberitahukan ke KPP dimana PKP terdaftar tentang Pejabat/Pegawai yang berwenang untuk menandatangani Faktur Pajak. Namun demikian, peraturan terbaru ini mengharuskan PKP untuk melampirkan fotokopi identitas diri para pejabat/pegawai penandatangan faktur pajak yang telah dilegalisir oleh yang berwenang.

7.    Pemakaian Nomor Seri Faktur Pajak
Berbeda dengan Peraturan sebelumnya yang mewajibkan penomoran Faktur Pajak secara sequence, di Peraturan yang baru ini PKP diperkenankan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak secara tidak berurutan. Konsekuensinya, di setiap masa pajak Desember, Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak dipergunakan harus dilaporkan ke KPP tempat PKP terdaftar, sehingga Nomor Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh PKP bersangkutan akan selalu termonitor

8.    Faktur Pajak Tidak Lengkap
Di Peraturan yang baru ini tidak dikenal lagi istilah Faktur Pajak Cacat. Sebagai gantinya muncul istilah Faktur Pajak Tidak Lengkap. Pada dasarnya kedua istilah ini mempunyai pengertian yang sama. Di peraturan yang baru ini dipertegas bahwa PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penegasan ini semakin memperjelas dan memberikan kepastian hukum bagi fiskus dan PKP.
Dengan adanya pengaturan kembali ini diharapkan penyalahgunaan faktur pajak dapat ditekan. Sehingga penerimaan pajak dari PPN dapat diamankan.