Berikut ini ada tulisan menarik dari sdr Aris Nor HamdanAris Nor Hamdan, seorang pegawai Dirjen Pajak.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bahan Bakar Minyak merupakan sebuah
kebutuhan pokok bagi kendaraan kita dalam rangka mobilitas manusia
sendiri untuk mencapai sebuah tujuan hidup bersosialisasi dengan
kehidupan di lingkungan sekitar layaknya sebagai makhluk sosial. Apabila
kita melihat perkembangan teknologi hingga saat ini, sudah banyak
sekali model transportasi yang bertujuan mempermudah perpindahan
seseorang antar daerah tanpa bergantung dengan transportasi umum yang
mengalami keterbatasan dalam hal waktu operasi serta armada terlebih
saat terjadinya arus mudik maupun arus balik liburan panjang bagi
pengembara pulang menuju kampung halaman demi bertemu sanak saudara
setelah bekerja di perantauan demi mencari rezeki bagi keluarga yang
menjadi tanggungannya.
Selain itu, Bahan Bakar Minyak juga dibutuhkan
dalam hal pengoperasian alat-alat produksi sebuah perusahaan untuk
menjalankan roda perekonomian sekaligus pemenuhan kewajiban perpajakan
sesuai dengan perundang-undangaan perpajakan yang berlaku. Timbal balik
dari pembayaran pajak sendiri sebagai kontibutor penerimaan terbesar
APBN negara ini adalah pembangunan infrastruktur dan prasana guna
menunjang mobilitas rakyat Indonesia sekaligus subsidi Bahan Bakar
Minyak guna menyejahterakan masyarakat di saat harga minyak dunia
semakin meroket tanpa diimbangi kualitas produksi minyak bumi yang
terkandung di nusantara nan luas ini.
Subsidi Bahan Bakar Minyak masih dikaji terus menerus oleh badan
eksekutif dan legislatif dengan tujuan tidak memberatkan seluruh
kalangan ekonomi dengan mempertimbangan harga pasar minyak dunia. Namun,
perbedaan masih tampak jelas antara harga solar untuk kendaraan umum
dan solar untuk industri di harga pasaran negeri ini. Entah pertimbangan
apa yang mendasari perbedaan tersebut, jika ditilik lebih jauh solar
merupakan Bahan Bakar Minyak yang sangat bermanfaat dalam segala hal
seperti menjalankan alat-alat produksi di dunia pertambangan dan
menjalankan mesin genset yang berguna di saat listrik padam maupun
tambahan daya listrik yang besar di saat hajatan acara sakral sebuah
keluarga seperti pernikahan maupun sunatan.
Selain itu, solar juga
memudahkan pengguna kendaraan bermotor dalam menjalankan mesinnya
termasuk speed boat yang melayani penyeberangan antar pulau jarak dekat.
Kalau melihat perkembangan daerah baru berkembang seperti di Kabupaten
Tanah Bumbu, sudah seharusnya subsidi Bahan Bakar Minyak itu mempercepat
perputaran kegiatan ekonomi di daerah ini. Namun pada kenyataannya hal
itu tak sejalan dengan harapan masyarakat yang tinggal di kabupaten
berusia 9 tahun seperti Tanah Bumbu tersebut. Terbukti masih banyaknya
penjual Bahan Bakar Minyak eceran di sekitar SPBU yang beroperasi hanya
beberapa jam saja.
Sekitar tahun 1990-an sebelum krisis moneter mendera negara ini,
mengingat kondisi alam dan kondisi keamanan Kalimantan yang belum stabil
saat itu menimbulkan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam di
nusantara ini semakin merajalela sehingga menyebabkan korban jiwa di
kalangan masyarakat yang menambang secara tradisional di tempat
penambangan hutan pun dihentikan bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde
Baru. Namun saat itu harga dan persediaan solar masih normal serta
sistem distribusi masih tergolong sederhana dengan metode penyimpanan
solar di tangki yang mendiami gudang dan pembelian dapat berasal dari
Depo Pertamina maupun kapal tangker dengan cara jemput bola ke tengah
lautan sekitar 30-40 mil dari daratan. Untuk metode jemput bola sendiri,
koordinasi antara distributor dengan kapten kapal sangat rapi supaya
dapat menentukan koordinat kapal tangker bertemu dengan kapal tangki
yang dibawa oleh distributor guna melakukan transaksi 30 ton solar per
perjalanan pengangkutan.
Sebenarnya kapal tangker itu membawa solar
dari depo pusat seperti Balikpapan menuju depo cabang di Kotabaru, namun
kuota tangkinya selalu melebihi dari jumlah yang seharusnya diangkut
sehingga kelebihan tersebut dapat diperjualbelikan kepada distributor.
Selisih hargapun tergolong mengiurkan bagi para distributor semisal saja
harga dari depo 450 per liter sedangkan harga di tangker bisa mencapai
300 per liter. Sedangkan muat tangker itu biasanya 150.000 ton namun
order mungkin sekitar 100.000 ton saja setiap kali angkut jadi
keuntungannya mencapai puluhan juta untuk transaksi langsir tersebut.
Sistem langsir merupakan sistem penjualan Bahan Bakar Minyak dengan
metode masyarakat membeli Bahan Bakar Minyak dari SPBU menggunakan
jerigen, maupun mobil yang sudah dimodifikasi mengangkut BBM kemudian
dijual kepada penambang ilegal dengan harga lebih tinggi hingga mencapai
harga Rp 7.000 per liter. Sedangkan Sistem Penjualan di tengah laut
merupakan sistem penjualan kapal transporter BBM dan kapal-kapal
Pertamina kepada kapal industri maupun kapal perusahaan dimana transaksi
terjadi seketika dan sekaligus itu juga artinya pembayaran berupa uang
tunai menggunakan koper.
Pemilik SPBU yang menyalurkan solar bersubsidi
terkadang menjual sebagian kepada industri tanpa menggunakan nota
penjualan, bukti penjualan maupun faktur pajak sehingga transaksi
tersebut tidak dilaporkan dalan laporan keuangan. Jadi transaksi tidak
sesuai dengan Delivery Order yang seharusnya disesuaikan dengan pesanan
yang telah dijanjikan sebelumnya. Dampak negatif dari transaksi seperti
ini adalah ketika sebuah SPBU hanya beroperasi dalam hitungan jam saja
per hari yaitu ketika sebuah tangki pengantar datang dan dalam waktu
bersamaan sudah banyak pengantri solar yang telah menunggu sejak
beberapa jam sebelumnya. Padahal di sekitar SPBU masih terdapat stok
solar yang melimpah yaitu di pedagang Bahan Bakar Minyak yang telah
tertimbun demi memperoleh keuntungan yang melimpah.
Kalau dilihat dari aspek perpajakan, bukti laporan keuangan saat
dianalisa tidak dapat ditemukan transaksi ilegal solar tersebut karena
transaksi uang tidak ada dalam laporan keuangan seperti melalui transfer
bank melainkan hanya berupa uang tunai. Sebenarnya, transaksi ilegal
solar tersebut sudah dianggarkan tersendiri oleh perusahaan terbukti
dari adanya pos-pos pendanaan yang digunakan untuk pembiayaan keamanan
transaksi ilegal kepada pihak berwenang yang berada di wilayah kerja
mulai dari tingkat terendah hingga pihak komando militer di daerah
sekitarnya. Jadi transaksi ilegal seperti ini memang benar-benar
terjadi di dunia industri namun hal ini penerapannya tidak dapat
dibuktikan secara teori tetapi kenyataan di lapangan masih saja terdapat
transaksi ilegal biasanya dilakukan di dalam hutan di gunung maupun
jalan raya saat dini hari sehingga merugikan pengguna solar lainnya yang
benar-benar membutuhkan demi mobilitas di daerah Kalimantan lainnya
yang teramat jauh untuk mencapai daerah lainnya.
Fungsi Subsidi untuk Kemandirian bangsa sebenarnya dapat benar-benar
tercapai jika semua pihak berperan serta dalam bidang perpajakan dengan
asas kejujuran dan akuntabiltitas tinggi sehingga Penerimaan Negara akan
tertolong dengan setoran pajak yang terus meningkat dari kebutuhan
APBN. Namun seiring dengan berjalannya waktu ke depan seperti ini,
mungkin agak sulit untuk memberantas praktek penjualan solar ilegal ini
karena masih adanya pihak yang tidak bertanggung jawab atas pemanfaatan
wewenang atas tugasnya. Subsidi BBM yang bertujuan menyejahterakan
rakyat malah menjadi bumerang bagi Negara ini ketika praktek ilegal
tersebut hanya menguntungkan pihak swasta yang lupa akan kewajiban
perpajakannya. Salah satu jalan keluar dari masalah ini adalah
penghapusan subsidi BBM, sehingga tidak ada perbedaan harga antara solar
kendaraan dan solar industri demi mengurangi praktek ilegal atas
penjualan solar.
Semoga dewan eksekutif dan legislatif mendengarkan
keluhan rakyat atas langkahnya Bahan Bakar Minyak di negeri nan kaya
minyak ini. Apabila pengelolaan minyak negara ini berjalan dengan baik
dan benar maka tidak mustahil jika Indonesia menjadi negara makmur
seperti Negara-negara Arab, namun tujuan itu belum tercapai secara tepat
karena praktek ilegal seperti ini masih merajalela dan sulit diadili
atas perbuatannya. Semoga pelaku industri di Indonesia introspeksi diri
atas segala tingkah laku yang tak sesuai dengan aturan
perundang-undangan perdagangan yang berlaku di negara ini.
Kami adalah Ashfaq "Tax" Solution yang siap memanjakan anda dalam urusan administrasi, pajak dan pembuatan laporan keuangan
Monday, January 21, 2013
Thursday, January 17, 2013
Ditjen Pajak Siapkan 16 Langkah Strategis di Tiga Bidang Untuk Amankan Pajak 2013
"Untuk
amankan penerimaan pajak tahun 2013, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
telah menyusun berbagai langkah-langkah strategis di tiga bidang, yaitu
bidang Kebijakan, bidang Kepatuhan dan bidang Kegiatan Pendukung",
ungkap Dirjen Pajak Fuad Rahmany di Kantor Pusat DJP Jakarta, Senin, 14
Januari 2013.
Pertama di bidang Kebijakan (Policy), DJP siapkan tujuh langkah strategis berupa:
(1) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Sehingga pajak yang dikenankan atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi adalah sebesar 2%,
(2) Melakukan penomoran faktur pajak yang selama ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) guna menekan jumlah faktur fiktif,
(3) Melaksanakan pungutan pajak untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet sampai dengan Rp.300 juta sebesar 0,5% dan untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet Rp.300 juta sampai dengan Rp.4,8 milyar sebesar 1%,
(4) Mengkaji rencana penetapan batasan terhadap debt of equity ratio (DER) untuk menekan perusahaan besar dan menengah melaporkan utang dengan tujuan untuk penghindaran pajak,
(5) Mengkaji batasan biaya promosi untuk mencegah perusahaan melaporkan biaya promosi yang berlebihan dengan tujuan untuk meminimalisasikan pajak,
(6) Menunjuk Bank-Bank BUMN, PLN, Pertamina dan Telkom sebagai Pemungut PPh Pasal 22 guna meningkatkan efektivitas penarikan PPh dan mengurangi kemungkinan PPh tidak disetor, dan
(7) Menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Harga Batubara Acuan, PPh Final Saham Sendiri, dan Transfer Pricing. "RPMK ini tengah digodok oleh Kementerian Keuangan," ujar Fuad.
Kedua di bidang Kepatuhan (Compliance), DJP akan: (1) Memanfaatkan data hasil olahan teknologi informasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) berbasis sektoral, (2) Menunjuk beberapa lembaga untuk memberi data elektronik perpajakan, (3) Melakukan pemeriksaan khusus terhadap perusahaan terkait pembayaran PPh Pasal 21 pada Semester Pertama 2013 karena ada indikasi banyak perusahaan hanya menyetor 80%-95% PPh Pasal 21 dari yang seharusnya disetor, (4) Melaksanakan ekstensifikasi pro aktif melalui kegiatan Sensus Pajak Nasional (SPN) dan optimalisasi pemanfaatan hasil SPN tahun 2011-2012, dan (5) Peningkatan detterent effect (efek jera) dengan melakukan kegiatan penegakan hukum perpajakan yang tegas bersama aparat penegak hukum. "Saat ini DJP akan berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian sesuai dengan MoU yang telah disepakati dan ditandatangani bersama pada tahun lalu," tandas Fuad.
Dan ketiga di bidang Kegiatan Pendukung (Supporting), DJP akan melaksanakan langkah-langkah strategis yang antara lain meliputi: (1) Penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) secara bertahap, (2) Pengalokasian SDM yang lebih tepat sesuai potensi dan kompetensi, (3) Pengembangan kapasitas SDM terutama untuk para Account Representative (AR) dan Pemeriksa Pajak, dan (4) Menyiapkan kelengkapan operasional dan logistik untuk mendukung kebijakan di bidang perpajakan. "Langkah-langkah strategis tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak pada 2013," kata Fuad.
Saat ini, penerimaan pajak 2013 ditargetkan Rp 1.042,32 triliun atau naik 24,79 persen dibanding dengan realisasi penerimaan pajak Tahun 2012. "Penerimaan tersebut memberikan kontribusi sebesar 68,14 persen dari rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 yang sebesar Rp1.529,67 triliun," jelas Fuad.
News : Ditjen Pajak
Pertama di bidang Kebijakan (Policy), DJP siapkan tujuh langkah strategis berupa:
(1) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Sehingga pajak yang dikenankan atas kegiatan membangun rumah sendiri seluas minimal 200 meter persegi adalah sebesar 2%,
(2) Melakukan penomoran faktur pajak yang selama ini dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) guna menekan jumlah faktur fiktif,
(3) Melaksanakan pungutan pajak untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet sampai dengan Rp.300 juta sebesar 0,5% dan untuk usaha yang tidak memiliki pembukuan yang akuntabel dengan omzet Rp.300 juta sampai dengan Rp.4,8 milyar sebesar 1%,
(4) Mengkaji rencana penetapan batasan terhadap debt of equity ratio (DER) untuk menekan perusahaan besar dan menengah melaporkan utang dengan tujuan untuk penghindaran pajak,
(5) Mengkaji batasan biaya promosi untuk mencegah perusahaan melaporkan biaya promosi yang berlebihan dengan tujuan untuk meminimalisasikan pajak,
(6) Menunjuk Bank-Bank BUMN, PLN, Pertamina dan Telkom sebagai Pemungut PPh Pasal 22 guna meningkatkan efektivitas penarikan PPh dan mengurangi kemungkinan PPh tidak disetor, dan
(7) Menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Harga Batubara Acuan, PPh Final Saham Sendiri, dan Transfer Pricing. "RPMK ini tengah digodok oleh Kementerian Keuangan," ujar Fuad.
Kedua di bidang Kepatuhan (Compliance), DJP akan: (1) Memanfaatkan data hasil olahan teknologi informasi untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) berbasis sektoral, (2) Menunjuk beberapa lembaga untuk memberi data elektronik perpajakan, (3) Melakukan pemeriksaan khusus terhadap perusahaan terkait pembayaran PPh Pasal 21 pada Semester Pertama 2013 karena ada indikasi banyak perusahaan hanya menyetor 80%-95% PPh Pasal 21 dari yang seharusnya disetor, (4) Melaksanakan ekstensifikasi pro aktif melalui kegiatan Sensus Pajak Nasional (SPN) dan optimalisasi pemanfaatan hasil SPN tahun 2011-2012, dan (5) Peningkatan detterent effect (efek jera) dengan melakukan kegiatan penegakan hukum perpajakan yang tegas bersama aparat penegak hukum. "Saat ini DJP akan berkoordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian sesuai dengan MoU yang telah disepakati dan ditandatangani bersama pada tahun lalu," tandas Fuad.
Dan ketiga di bidang Kegiatan Pendukung (Supporting), DJP akan melaksanakan langkah-langkah strategis yang antara lain meliputi: (1) Penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) secara bertahap, (2) Pengalokasian SDM yang lebih tepat sesuai potensi dan kompetensi, (3) Pengembangan kapasitas SDM terutama untuk para Account Representative (AR) dan Pemeriksa Pajak, dan (4) Menyiapkan kelengkapan operasional dan logistik untuk mendukung kebijakan di bidang perpajakan. "Langkah-langkah strategis tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak pada 2013," kata Fuad.
Saat ini, penerimaan pajak 2013 ditargetkan Rp 1.042,32 triliun atau naik 24,79 persen dibanding dengan realisasi penerimaan pajak Tahun 2012. "Penerimaan tersebut memberikan kontribusi sebesar 68,14 persen dari rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun 2013 yang sebesar Rp1.529,67 triliun," jelas Fuad.
News : Ditjen Pajak
Tuesday, January 15, 2013
RSBI dan Pajak
Oleh : Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Trias van deventer khususnya bidang pendidikan membawa dua dampak sekaligus. Sisi positifnya walaupun bangsa penjajah, belanda menyadari hanya dengan pendidikan mereka dapat mencetak tenaga-tenaga administrasi yang handal. Administrasi dan birokrasi pemerintah kolonial yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini adalah bidang hukum dan beberapa sistem administrasi pemerintahan. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (plat nomor kendaraan) adalah salah satu warisan belanda. Sisi negatifnya, pada masa kolonial pendidikan tersegmentasi antara kaum priyayi/kaya/bangsawan dengan pribumi biasa. Situasi jaman kolonial seolah dihidupkan lagi dengan sistem RSBI beberapa waktu lalu.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sangat tepat sekali. RSBI telah menciderai hak dasar anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang layak guna menunjang masa depan mereka. Kisah yang saya tulis berikut ini adalah kisah nyata yang dialami seorang anak pinggiran yang termarjinalkan karena uang. Ahmad adalah anak cerdas yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Ibunya buruh linting rokok disebuat koperasi mitra perusahaan rokok terkenal di negeri ini. Sedangkan ayahnya hanya seorang nelayan dengan penghasilan tergantung angin dan ombak.
Singkat cerita selepas menyelesaikan pendidikan dari SMP, dia bercita-cita melanjutkan SMA faforit di kota itu. Nilai hasil Unas juga sangat memuaskan dan mendukung untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun sayang, pihak sekolah dengan berbagai macam alasan demi kenyamanan ruangan memakai AC, komputer, dll. Orang tua Ahmad tidak mampu memenuhi biaya masuk sekolah yang melangit itu. Dan anak cerdas itupun terdampar di SMK (bukan SMA sesuai cita-citanya) disekolah yang menurut dia kurang favorit.
Sebagai buruh pabrik sebenarnya Ibu Ahmad telah memenuhi kewajiban berpartisipasi membayar pajak pasal 21. Walaupun entah berapa prosentasenya terhadap penerimaan pajak nasional atau penerimaan APBN, namun secara egaliter dia telah sukarela menyumbang negara sesuai kemampuannya. Namun disisi lain sebagai WNI, anaknya ditolak mendapatkan hak akses pendidikan yang lebih baik. Disinilah peran dan eksistensi pemerintah harus melindungi, melayani, dan memfasilitasi para anak bangsa yang ingin berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Sebagaimana membayar pajak adalah hak dan sekaligus kewajiban membela negara, mendapat layanan pendidikan yang bagus adalah hak setiap warga negara sekaligus kewajiban tiap orang untuk memperbaiki dan memperjuangkan masa depannya melalui pendidikan tinggi. RSBI ibarat tirani yang harus diberangus agar akses pendidikan untuk rakyat miskin proletar bisa setara dengan kaum borjuis/priyayi/bangsawan.
Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. Namun sayangnya banyak sekolah yang masih berkutat dengan pembangunan fisik sekolah. Sertifikasi guru dengan tunjangannya, belum optimal digunakan untuk meningkatkan SDM, tapi justru untuk kegiatan konsumtif. Berkaca pada negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di dunia (finlandia) kualifikasi guru SD adalah S2. Kita semua sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa dengan tingkat pendidikan yang tinggi. kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda dan bukan mendewakan uang dan kemampuan finansial untuk mengaksesnya. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
Namun Ingat ! Negara butuh biaya untuk melakukan itu semua. Sebagai penutup tulisan ini, penghapusan RSBI semoga dapat menjadi titik tolak yang menginspirasi setiap kita agar sadar dan tahu konsekwensi hidup bernegara adalah bergotong royong, pepatah bilang ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Negara memerlukan biaya untuk melaksanakan pendidikan murah, sepatutnyalah warga negara harus sadar dan sukarela membantu negara dengan menyisihkan sedikit penghasilan atau laba usaha untuk membayar pajak.
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
- Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
- Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
- Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (sumber : wikipedia.org)
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Trias van deventer khususnya bidang pendidikan membawa dua dampak sekaligus. Sisi positifnya walaupun bangsa penjajah, belanda menyadari hanya dengan pendidikan mereka dapat mencetak tenaga-tenaga administrasi yang handal. Administrasi dan birokrasi pemerintah kolonial yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini adalah bidang hukum dan beberapa sistem administrasi pemerintahan. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (plat nomor kendaraan) adalah salah satu warisan belanda. Sisi negatifnya, pada masa kolonial pendidikan tersegmentasi antara kaum priyayi/kaya/bangsawan dengan pribumi biasa. Situasi jaman kolonial seolah dihidupkan lagi dengan sistem RSBI beberapa waktu lalu.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sangat tepat sekali. RSBI telah menciderai hak dasar anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang layak guna menunjang masa depan mereka. Kisah yang saya tulis berikut ini adalah kisah nyata yang dialami seorang anak pinggiran yang termarjinalkan karena uang. Ahmad adalah anak cerdas yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Ibunya buruh linting rokok disebuat koperasi mitra perusahaan rokok terkenal di negeri ini. Sedangkan ayahnya hanya seorang nelayan dengan penghasilan tergantung angin dan ombak.
Singkat cerita selepas menyelesaikan pendidikan dari SMP, dia bercita-cita melanjutkan SMA faforit di kota itu. Nilai hasil Unas juga sangat memuaskan dan mendukung untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun sayang, pihak sekolah dengan berbagai macam alasan demi kenyamanan ruangan memakai AC, komputer, dll. Orang tua Ahmad tidak mampu memenuhi biaya masuk sekolah yang melangit itu. Dan anak cerdas itupun terdampar di SMK (bukan SMA sesuai cita-citanya) disekolah yang menurut dia kurang favorit.
Sebagai buruh pabrik sebenarnya Ibu Ahmad telah memenuhi kewajiban berpartisipasi membayar pajak pasal 21. Walaupun entah berapa prosentasenya terhadap penerimaan pajak nasional atau penerimaan APBN, namun secara egaliter dia telah sukarela menyumbang negara sesuai kemampuannya. Namun disisi lain sebagai WNI, anaknya ditolak mendapatkan hak akses pendidikan yang lebih baik. Disinilah peran dan eksistensi pemerintah harus melindungi, melayani, dan memfasilitasi para anak bangsa yang ingin berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Sebagaimana membayar pajak adalah hak dan sekaligus kewajiban membela negara, mendapat layanan pendidikan yang bagus adalah hak setiap warga negara sekaligus kewajiban tiap orang untuk memperbaiki dan memperjuangkan masa depannya melalui pendidikan tinggi. RSBI ibarat tirani yang harus diberangus agar akses pendidikan untuk rakyat miskin proletar bisa setara dengan kaum borjuis/priyayi/bangsawan.
Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. Namun sayangnya banyak sekolah yang masih berkutat dengan pembangunan fisik sekolah. Sertifikasi guru dengan tunjangannya, belum optimal digunakan untuk meningkatkan SDM, tapi justru untuk kegiatan konsumtif. Berkaca pada negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di dunia (finlandia) kualifikasi guru SD adalah S2. Kita semua sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa dengan tingkat pendidikan yang tinggi. kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda dan bukan mendewakan uang dan kemampuan finansial untuk mengaksesnya. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
Namun Ingat ! Negara butuh biaya untuk melakukan itu semua. Sebagai penutup tulisan ini, penghapusan RSBI semoga dapat menjadi titik tolak yang menginspirasi setiap kita agar sadar dan tahu konsekwensi hidup bernegara adalah bergotong royong, pepatah bilang ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Negara memerlukan biaya untuk melaksanakan pendidikan murah, sepatutnyalah warga negara harus sadar dan sukarela membantu negara dengan menyisihkan sedikit penghasilan atau laba usaha untuk membayar pajak.
Monday, January 14, 2013
Agitasi Pajak Rokok 2014
Pada
saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak
Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok diperhitungkan dalam
penetapan tarif cukai nasional. Hal ini dimaksudkan agar terdapat
keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok
dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah.
Walaupun
pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan
Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan
merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu
konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak
terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan
disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan
besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti
natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
Pajak
Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan
(pembangunan / pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit
pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok
(smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan
iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum
(pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai
larangan merokok).
Saat
ini Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan terus
mengkaji strategi dan mekanisme pemungutan Pajak Rokok yang akan
diberlakukan pada tahun ini. Diharapkan dengan adanya Pajak Rokok ini
penerimaan daerah akan meningkat dan tercipta pembangunan daerah.
Penulis:
Bayu Prasetia Adi Pamungkas
Mahasiswa STAN Tingkat 2 AE Akuntansi Pemerintahan
Saturday, January 12, 2013
Saat Bangsa Indonesia bersama-sama berjuang Anti-Korupsi Pajak
Kali ini kami akan sharing sebuah tulisan menarik dari saudara Wiyoso Hadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimana beliau beropini mengenai korupsi yang kerap dan sudah menjadi akar budaya di dunia perpajakan. Simak tulisannya.
Sungguh menggembirakan bahwa dua tahun belakangan ini, pemerintah dan masyarakat sebagai whistle blower bahu-membahu memerangi berbagai kasus-kasus korupsi di sektor pajak. Penyelesaian kasus terakhir yang paling hangat, Asian Agri Grup (AAG), tak lepas dari kinerja bersama Kemenkopolhukam, Kemenkeu, Kemenkumham, Kejagung, Polri dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Sebagaimana diberitakan media massa, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada akhir 2012 lalu menyatakan bahwa terdakwa mantan manajer pajak Asian Agri, Suwir Laut, bersalah dan dihukum pidana penjara dua tahun dengan masa percobaan selama tiga tahun dan mewajibkan dalam waktu satu tahun ke depan. 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG yang pengisian SPT tahunannya diwakili terdakwa, wajib membayar sejumlah 2 x Rp1.259.977.695.652 = Rp2.519.955.391.304,-. Dengan kata lain, putusan tersebut merupakan perkara penggelapan pajak yang diputuskan sebagai corporate liability (pertanggung jawaban perusahaan) yaitu vicarious liability, dimana perusahaan bertanggung jawab atap perbuatan pidana pegawainya.
Kalangan masyarakat pun berharap agar pemerintah tidak berhenti di pajak karena pengemplangan pajak oleh AAG pasti berkaitan dengan pencucian uang dan korupsi. Sehingga harus ditindaklanjuti oleh pemerintah agar AAG dicabut izin usahanya. Hal itu antara lain didengungkan oleh Kooordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi dan pengamat hukum Hermawanto.
AAG hanya salahsatu dari berbagai kasus-kasus sengketa pajak yang dimenangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berdasarkan data Kemenkeu, kemenangan pemerintah atas berbagai kasus sengketa pajak terus meningkat. Pada tahun 2009, kemenangan pemerintah atas kasus sengketa pajak sebesar 35,59%, kemudian tahun 2010, meningkat menjadi 36,74%. Lalu tahun 2011 mencapai 50,57%. Ini bukti nyata bahwa kinerja DJP semakin baik dan aparatnya semakin berintegritas tinggi sehingga tidak mudah goyah oleh iming-iming dari wajib pajak (WP) nakal.
Mengutip pernyataan Menteri Keuangan RI Agus Dermawan Wintarto Martowardojo di media massa, kunci sukses kemenangan pemerintah atas berbagai kasus sengketa pajak karena beberapa pembenahan internal yang dilakukan oleh DJP. Pertama, meninjau pemenuhan persyaratan formal dan kecukupan data dan bukti hasil pemeriksaan pajak. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dalam sistem informasi perpajakan. Dan ketiga, aktif mengajukan banding dan peninjauan kembali (PK) ke MA.
Relatif cepatnya penyelesaian kasus sengketa pajak AAG didorong oleh keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak pada awal tahun 2011. Sebagai tindak lanjut Inpres tersebut, terbentuklah Tim Gabungan Inspektorat Jenderal Kemenkeu-BPKP yang berkoordinasi dengan KPK untuk fokus menyelesaikan dua kasus penyimpangan pajak yang melibatkan mantan pegawai DJP Gayus Tambunan dan penggelapan pajak AAG.
Hingga kini, Tim Gabungan itu telah menyelesaikan audit investigasi atas penanganan pemeriksaan, keberatan, dan banding pajak terhadap 40 WP yang pernah ditangani Gayus, yakni mencakup 61 putusan pengadilan pajak dan dua WP terkait sunset policy. Dari hasil audit itu, 3 WP dilimpahkan ke KPK; 6 WP diusulkan pemeriksaan bukti permulaan pajak dan pemeriksaan ulang, serta sisanya dilakukan upaya administrasi.
Dari hasil audit investigasi Tim Gabungan ditemukan dugaan pelanggaran atau penyimpangan 19 WP dengan potensi kerugian negara Rp 645,99 miliar dan US$ 21,1 juta. Kemudian terkait kasus sunset policy atas 2 WP, ada potensi kerugian Rp 339 miliar.
Tentu kita berharap agar kasus-kasus penyimpangan pajak dapat terus diminimalisasi dengan dukungan penuh dari berbagai sektor dan pihak terhadap upaya-upaya konsisten DJP yang terus melakukan reformasi birokrasi dan membangun budaya korektif di tempat kerja, serta dukungan publik berupa kesadaran masyarakat dan ketaatan WP dalam membayar pajaknya dengan tepat waktu dan benar. Mari kita teguhkan bersama untuk TIDAK Korupsi Pajak! Wujudkan Indonesia bersih dengan bersama-sama berjuang Anti-Korupsi Pajak. Bebaskan Indonesia dari korupsi. Maju terus Indonesia!
Thursday, January 10, 2013
Mari Sukseskan Sensus Pajak Nasional!!!
Dalam
melaksanakan pembangunan di semua sektor, pemerintah tentu membutuhkan
dana yang diantaranya berasal dari pajak. Pada dasarnya, pajak merupakan
kontribusi wajib berdasarkan undang-undang, yang harus dibayar oleh
seluruh Wajib Pajak tanpa mendapat imbalan secara langsung yang akan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setiap warga Negara
Indonesia yang telah berpenghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena
Pajak) wajib untuk membayar pajak. Setiap badan usaha wajib terdaftar
sebagai Wajib Pajak dan melakukan kewajiban perpajakannya.
Menyadari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah melaksanakan kegiatan Sensus Pajak Nasional. Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan usaha yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak, dapat melaksanakannya sesuai ketentuan perpajakan.
Sensus Pajak Nasional pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan.
Sungguh tidak adil apabila ada masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih ada juga masyarakat yang belum membayar pajak. Seharusnya masyarakat memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan rasa bangga bayar pajak. Mari kita sukseskan Sensus Pajak Nasional. Ayo Peduli Pajak!
Sekilas Sensus Pajak Nasional
Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sensus Pajak Nasional dilaksanakan dengan tujuan untuk :
Dasar Hukum Sensus Pajak Nasional
Dasar hukum pelaksanaan Sensus Pajak Nasional adalah sebagai berikut:
Roda pembangunan nasional dapat terus bergerak dan perekonomian Negara dapat terus tumbuh karena adanya penerimaan negara. Semakin besar penerimaan Negara tentuakan semakin banyak fasilitas publik yang dapat disediakan pemerintah. Penerimaan Negara dapat ditingkatkan jika ada perluasan basis pajak. Perluasan basis pajak tersebut dapat diwujudkan jika terdapat data yang akurat mengenai potensi pajak. Itulah mengapa Sensus Pajak Nasional sangat diperlukan agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terwujud melalui pengunaan uang pajak.
Manfaat Sensus Pajak Nasional
Berikut ini manfaat yang diharapkan dari penyelenggaraan Sensus Pajak Nasional :
Sasaran Sensus Pajak Nasional adalah bagi mereka yang :
Untuk lebih jelasnya, ikuti tautan ini. Bangga Bayar Pajak!
sumber : Pajak Nasional
Menyadari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah melaksanakan kegiatan Sensus Pajak Nasional. Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan usaha yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak, dapat melaksanakannya sesuai ketentuan perpajakan.
Sensus Pajak Nasional pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan.
Sungguh tidak adil apabila ada masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih ada juga masyarakat yang belum membayar pajak. Seharusnya masyarakat memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan rasa bangga bayar pajak. Mari kita sukseskan Sensus Pajak Nasional. Ayo Peduli Pajak!
Sekilas Sensus Pajak Nasional
Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sensus Pajak Nasional dilaksanakan dengan tujuan untuk :
- Perluasan basis pajak
- Peningkatan penerimaan pajak
- Peningkatan jumlah penerimaan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan PPh (Pajak Penghasilan)
- Pemutakhiran data Wajib Pajak
- Pendataan kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak);
- Konsultasi perpajakan;
- Sosialisasi hak dan kewajiban Wajib Pajak; dan
- Pengawasan kepatuhan kewajiban Wajib Pajak.
Dasar Hukum Sensus Pajak Nasional
Dasar hukum pelaksanaan Sensus Pajak Nasional adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentangPajak Bumidan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994/li>
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Sensus Pajak Nasional.
Roda pembangunan nasional dapat terus bergerak dan perekonomian Negara dapat terus tumbuh karena adanya penerimaan negara. Semakin besar penerimaan Negara tentuakan semakin banyak fasilitas publik yang dapat disediakan pemerintah. Penerimaan Negara dapat ditingkatkan jika ada perluasan basis pajak. Perluasan basis pajak tersebut dapat diwujudkan jika terdapat data yang akurat mengenai potensi pajak. Itulah mengapa Sensus Pajak Nasional sangat diperlukan agar keadilan dan kesejahteraan rakyat terwujud melalui pengunaan uang pajak.
Manfaat Sensus Pajak Nasional
Berikut ini manfaat yang diharapkan dari penyelenggaraan Sensus Pajak Nasional :
- Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional
- Mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakan
- Mengurangi ketergantungan pembiayaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dari pinjaman/utang
- Mewujudkan pembangunan nasional yang lebih baik dengan kemandirian bangsa
- Meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia
Sasaran Sensus Pajak Nasional adalah bagi mereka yang :
- Belum ber-NPWP, diberikan NPWP
- Belum bayar pajak, agar membayar pajak
- Belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT
- Memiliki utang pajak, agar melunasinya
- Belum optimal membayar pajak, agar membayar pajak sesuai dengan ketentuan
Untuk lebih jelasnya, ikuti tautan ini. Bangga Bayar Pajak!
sumber : Pajak Nasional
Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
1.
Direktur Jenderal Pajak karena
jabatannya atau atas permohonan WP dapat :
a.
Mengurangkan atau membatalkan
surat ketetapan pajak atau STP yang tidak benar; dan/atau
b.
Membatalkan hasil pemeriksaan
atau surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan yang penerbitannya tanpa
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan WP.
Untuk SKPKB atau SKPKBT tersebut harus yang tidak diajukan
keberatan, diajukan keberatan tetapi telah dicabut oleh WP atau diajukan
keberatan tetapi tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan.
2.
Permohonan pengurangan atau
pembatalan tersebut harus memenuhi ketentuan :
a.
1 (satu) permohonan untuk 1
(satu) STP, atau surat ketetapan pajak termasuk surat ketetapan pajak dari
hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
b.
Diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia;
c.
Mencantumkan jumlah pajak yang
seharusnya terutang menurut penghitungan WP disertai dengan alasan yang
mendukung permohonannya;
d.
Disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar;
e.
Surat permohonan ditandatangani
oleh WP, dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, surat
permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Permohonan WP dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan
permohonan kedua harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama
dikirim, kecuali untuk permohonan pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil
pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan yang hanya dapat diajukan 1
(satu) kali saja.
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan
WP dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya
permohonan WP. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh WP dianggap
dikabulkan dan harus menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang
diajukan.
Keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan
sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan WP. WP dapat meminta secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar
untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan WP.
Tuesday, January 8, 2013
Penomoran Faktur Pajak Diatur Kembali
Ketentuan dalam membuat Faktur Pajak (FP) sekarang mengalami perubahan signifikan terutama dalam hal sistem penomoran. Hal tersebut diatur dalam PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang berlaku per 1 April 2013. Dengan penerbitan ketentuan baru ini, diharapkan berbagai pelanggaran berkenaan dengan ketentuan perpajakan khusunya tentang Pajak Pertambahan Nilai akan berkurang secara signifikan.
Sebagai contoh, untuk pemberian Nomor Seri Faktur Pajak, PKP disyaratkan telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password dan telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir. Selain itu, untuk mendapatkan Kode Aktivasi, disyaratkan terhadap PKP telah di lakukan Registrasi Ulang atau verifikasi. Dengan ketentuan baru ini tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak akan meningkat dan penerbitan Faktur Pajak Fiktif akan berkurang.
Beberapa hal terkait dengan penerbitan Faktur Pajak
sesuai PER-24/PJ/2012 yang baru tersebut, Wajib Pajak perlu memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Saat
Pembuatan Faktur Pajak
Menurut Peraturan
yanglama PER-13/PJ./2010 jo PER-65/PJ/2010, faktur pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal
penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat Pengusaha Kena Pajak rekanan
menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
Di Peraturan yang
baru (PER-24/PJ/2012) ditambahkan satu kondisi baru, yaitu saat lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Selain penetapan saat
penerbitan Faktur Pajak, di ketentuan ini juga di atur sanksi apabila ketentuan
tentang saat penerbitan Faktur Pajak tersebut tidak dipenuhi, terhadap PKP akan
dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 UU KUP. Apabila Faktur Pajak diterbitkan
setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya
dibuat sebagaimana dimaksud di atas, PKP dianggap tidak menerbitkan Faktur
Pajak.
Akibatnya, PKP
Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang menerima Faktur
Pajak tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum
di dalamnya sebagai Pajak Masukan.
2.
Penomoran
Faktur Pajak
Sistem penomoran
Faktur Pajak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di sistem penomoran
yang baru ini, jumlah digit Nomor Faktur Pajak tetap 16 (enam belas) digit,
tetapi dengan pengaturan yang berbeda, yaitu:
a. 2 (dua) digit Kode Transaksi;
b. 1 (satu) digit Kode Status; dan
c. 13 (tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak
yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Hanya pada bagian 13
(tiga belas) digit Nomor Seri Faktur Pajak ini saja yang mengalami perubahan
yang signifikan. Di ketentuan yang lama Nomor Seri Faktur Pajak ini hanya terdiri
atas 10 (sepuluh) digit saja dan diterbitkan secara urut mulai dari 0000000001
tiap awal tahun.
Di ketentuan yang
baru ini, Direktorat Jenderal Pajak yang akan memberikan nomor Faktur Pajak
secara blok sesuai permintan Wajib Pajak.
Sebagai contoh, PKP
meminta 100 Nomor Seri Faktur Pajak, maka Nomor Seri Faktur Pajak yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
a. 900.13.00000001 s.d. 900.13.00000100;
b. 900.13.99999901 s.d. 901.13.00000000;
c. 900.13.99999999 s.d. 901.13.00000098, dan
sebagainya.
Catatan:
Kantor Pelayanan
Pajak tempat PKP dikukuhkan akan memberikan nomor seri Faktur Pajak ke PKP
sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dimulai dari Nomor Seri
900-13.00000001 untuk Faktur Pajak yang diterbitkan tanggal 1 April 2013. Untuk
tahun 2014 akan dimulai dari nomor seri Faktur Pajak 000-14.00000001 demikian
seterusnya.
3.
Pengajuan
Permohonan Kode Aktivasi dan Password
Agar dapat diberikan
Nomor Seri Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan surat Permohonan
Kode Aktivasi dan Password terlebih dahulu agar dapat memperoleh Nomor Faktur
Pajak. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kode Aktivasi dan Password ke PKP
setelah PKP memenuhi syarat sebagai berikut:
a. PKP telah dilakukan Registrasi Ulang
Pengusaha Kena Pajak dan laporan hasil registrasi ulang verifikasi menyatakan
PKP tetap dikukuhkan; atau
b. PKP telah dilakukan verifikasi berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012
4.
Tatacara
mengajukan Kode Aktivasi dan Password
Tatacara mengajukan
Kode Aktivasi dan Password di atur sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengajukan
permohonan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP
dikukuhkan.
b. Dalam hal Surat Permohonan sudah diisi dengan
lengkap, PKP menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS).
c. Dalam hal permohonan Kode Aktivasi dan
Password disetujui, PKP akan menerima Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi melalui
jasa kurir ke alamat PKP sesuai dengan
data yang ada pada sistem di KPP dan menerima Password melalui surat elektronik
(email). Dalam hal permohonan ditolak, PKP akan menerima surat Penolakan
Pemberian Kode Aktivasi yang dikirimkan oleh KPP melalui jasa ekspedisi ke
alamat PKP sesuai dengan data yang ada pada Sistem Informasi Direktorat
Jenderal Pajak.
Untuk pertama kalinya
Permohonan Kode Aktivasi dan Password dan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak
dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal 1 Maret 2013.
5.
Pemberian
Nomor Seri Faktur Pajak
Direktorat Jenderal
Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar, akan
menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak berdasarkan permintaan
PKP, dengan syarat PKP telah mempunyai Kode Aktivasi dan Password. Selain itu,
diperlukan pula syarat lain yaitu PKP telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3
(tiga) masa pajak terakhir, yang telah jatuh tempo, secara berturut-turut pada
tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak.
6.
Penunjukkan
dan Penandatangan Faktur Pajak
Sebagaimana telah di
atur di Peraturan terdahulu, PKP berkewajiban untuk memberitahukan ke KPP
dimana PKP terdaftar tentang Pejabat/Pegawai yang berwenang untuk
menandatangani Faktur Pajak. Namun demikian, peraturan terbaru ini mengharuskan
PKP untuk melampirkan fotokopi identitas diri para pejabat/pegawai
penandatangan faktur pajak yang telah dilegalisir oleh yang berwenang.
7.
Pemakaian
Nomor Seri Faktur Pajak
Berbeda dengan
Peraturan sebelumnya yang mewajibkan penomoran Faktur Pajak secara sequence, di
Peraturan yang baru ini PKP diperkenankan memberikan Nomor Seri Faktur Pajak
secara tidak berurutan. Konsekuensinya, di setiap masa pajak Desember, Nomor
Seri Faktur Pajak yang tidak dipergunakan harus dilaporkan ke KPP tempat PKP
terdaftar, sehingga Nomor Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh PKP bersangkutan
akan selalu termonitor
8.
Faktur
Pajak Tidak Lengkap
Di Peraturan yang baru ini
tidak dikenal lagi istilah Faktur Pajak Cacat. Sebagai gantinya muncul istilah
Faktur Pajak Tidak Lengkap. Pada dasarnya kedua istilah ini mempunyai
pengertian yang sama. Di peraturan yang baru ini dipertegas bahwa PKP yang
menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai
dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penegasan ini semakin memperjelas dan memberikan kepastian hukum bagi fiskus
dan PKP.
Dengan adanya pengaturan kembali ini diharapkan penyalahgunaan
faktur pajak dapat ditekan. Sehingga penerimaan pajak dari PPN dapat diamankan.
Subscribe to:
Posts (Atom)