Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu
kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan
anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan
Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam
Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan
bisnis baik ditingkat nasional maupun internasional, maka penghasilan yang
diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib
pajak badan ini merupakan penyumbang
bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat
pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan,
pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk
mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai wajib
pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam perpajakan dan cara
penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
A.
Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
B.
Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah
Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki
kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk
memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
C.
Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan
adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang
dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1.
Wajib Pajak Badan dalam
negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
2.
Wajib Pajak Badan luar
negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia,
dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui
BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D.
Kewajiban Wajib Pajak
Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan
diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak
badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak
atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka
wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu
selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah
peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka
tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut
memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih
dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU
KUP, “Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan
apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
2. Kewajiban untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada
pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi
keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak
terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca
dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan
:
Pembukuan
tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata
uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
diizinkan oleh Menkeu,
c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
d. perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah
prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan :
Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku;
Metode penilaian persediaan; Metode
penyusutan dan amortisasi.
|
3. Kewajiban
melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban pajak
sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban memotong
atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal
21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban
memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban
Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh Pasal
21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di
perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga
ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran
penghasilan, yang termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang
berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU
PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus
dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal
21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan
pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak
Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas
pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga
wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang
dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk
PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal
21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan
pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun
pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi
berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak
sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan
dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan
Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya
timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21
yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
b. PPh Pasal
23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan
berupa dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah
dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa
manajeman, jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal
23 UU PPh.
c. PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang
dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain
sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan
dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala
lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam
Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan
penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun
untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung
pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya;
1) Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima
penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya
melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2)
Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh Final
Yaitu PPh yang
dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur
secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh
Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak
Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka
Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang
terutang atas sewa kantor tersebut.
e. PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran
angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP
untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f. PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan
kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan
PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP
(Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban membayar
dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban
membuat faktur pajak
7. Kewajiban
melunasi bea materai
8. Kewajiban
menaati pemeriksaan pajak
E.
Hak Wajib Pajak Badan
dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1.
Hak untuk mendapat
pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2.
Hak untuk membetulkan,
memperpanjang waktu penyampaian SPT
3.
Hak untuk mengajukan
keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
4.
Hak untuk memperoleh
kelebihan pembayaran pajak
5.
Hak dalam hal wajib
pajak dilakukan pemeriksaan
6.
Hak untuk mendapat
fasilitas perpajakan
7.
Hak mengajukan
permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan pajak, dan
memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan pajak oleh
DJP
8.
Hak untuk melakukan
pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9.
Hak mengurangi
penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya fiskal.
F.
Saat Terutang,
Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak
penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah
mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph badan harus dibayar paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk
hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh
pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi
atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang
atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain
dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN).
Apabila pajak terutang untuk
satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran
kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya
sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal
disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
G.
Cara Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan
pendapatan dan biaya antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut
perpajakan. Berikut perbedaan diantara keduanya.
Beda Tetap (Permanent
Difference)
1. Menurut akuntasi komersial
merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan Pajak Penghasilan bukan
penghasilan.
Misal: dividen yang diterima
oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal
sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial
merupakan penghasilan sedangakan menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang
bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga
dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung
PPh terutang.
Misal: penghasilan atas
bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank
sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial
merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya yang digunakan
untuk memperoleh penghasilan yang
bukan obyek pajak atau pengenaan
pajaknya bersifat final.
b. Penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
atau kenikmatan.
c. Sanksi perpajakan berupa bunga,
denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya yang menurut
ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas
penghapusan piutang).
Beda Sementara
(Temporary Difference)
Beda waktu merupakan
perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan
fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak
tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.
Pengertian Rekonsiliasi
Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun
laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan
penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu
mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan
komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan
laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan
PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari
rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan
laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi
fiskal dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki
penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki
penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan
biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan
biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode pengakuan biaya
tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya
yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh
final
Dalam rekonsiliasi fiskal
terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif
dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba
fiskal bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi
yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
Berikut langkah-langkah
penghitungan PPh Badan :
Jumlah penghasilan neto
bruto xxxx
Biaya xxxx
–
Penghasilan neto komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif xxxx
Negatif (xxxx)
+-
Penghasilan neto fiskal xxxx
Kompensasi kerugian xxxx
–
Penghasilan kena pajak xxxx
PPh terutang xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak
ketiga xxxx
Telah dibayar sendiri xxxx +
Jumlah kredit pajak xxxx
–
Kurang/lebih bayar xxxx
Perhitungan PPh
Terutang
a. Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib Pajak Badan dalan negeri
yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen)
dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
c. Untuk keperluan penerapan
tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan
rupiah penuh.
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan
diberikan untuk memberikan kemudahan bagi sektor-sektor usaha tertentu dengan
pertimbangan tertentu, misalnya daya saing, penyerapan lapangan kerja dan
perlindungan kepentingan umum. Adapun berbagai fasilitas dan insentif
perpajakan bagi wajib pajak badan, sebagai berikut :
1.
Fasilitas perpajakan
yang berkaitan dengan tarif pajak
a.
Fasilitas tarif pasal
17 ayat (2B) UU PPh
Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor, diperdagangkan dibursa efek Indonesia.
Fasilitas bagi perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5%
lebih rendah dari tarif yang berlaku.
b.
Fasilitas tarif pasal
31E ayat (1) UU PPh
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah)
2.
Fasilitas perpajakan
yang berkaitan dengan non tarif atau insentif
Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak
dipungut, atau ditanggung pemerintah.
a.
Fasilitas PPh untuk
penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau didaerah-daerah tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib
pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, baik yang
baru berdiri maupun yang telah ada, serta melakukan penanaman modal baru maupun
perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan daerah tertentu.
Fasilitas yang diberikan yaitu :
1)
Pengurangan penghasilan
neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan,
2)
Penyusutan dan
maortisasi yang dipercepat,
3)
Kompensasi kerugian
yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4)
Pengenaan PPh atas
deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10% atau tarif
lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku.
b.
Fasilitas untuk PPN
atau PPnBM
Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak
terutang tidak dipungut dan pembebasan dari pengenaan pajak yang dapat berlaku
sementara atau selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki usaha dan membantu
kehidupan bangsa akan mendapat fasilitas perpajakan. Misalnya kegiatan yang
sifatnya untuk menyendiakan alat-alat TNI, POLRI, dll. Dan kegiatan yang
meningkatkan kecerdasan bangsa seperti buku-buku pelajaran, dll.
3.
Fasilitas yang
membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)
SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang
terkait dengan kewajiban PPh pasal 21, PPh pasal 22 misal atas impor emas
batangan untuk ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan PPh bunga
deposito dan tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.
4.
Fasilitas perpajakan
terkait kondisi-kondisi tertentu
a.
Pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak
Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan
pajak yang mana wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu didahulukan
daripada wajib pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa pemeriksaan dengan
jangka waktu tiga bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b.
Pengurangan PPh pasal
25 karena keadaan perubahan usaha
c.
Fasilitas perpajakan
karena pengecualian terkait kondisi tertentu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Wajib pajak badan dan pajak penghasilan
badan merupakan bagian yang sangat kompleks dalam perpajakan. Baik dari segi
macam-macam usaha yang termasuk badan dalam pengertian pajak maupun cara
penghitungan pajak penghasilan itu sendiri. Begitu juga dengan hak dan
kewajiban dari wajib pajak badan. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi
wajib pajak badan tanpa memandang omzet karena wajib pajak badan dirasa telah
terbentuk dalam suatu organisasi yang terarah sehingga mampu menyelenggarakan
pembukuan perpajakan.
Dan perbedaan yang terjadi
pada laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan pajak membuat wajib
pajak harus melakukan penyesuaian agar didapat laba fiskal dengan cara
merekonsiliasinya.
Wajib
pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas yang diberikan dengan ketentuan dan
krietria tertentu agar memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban
perpajakannya. Sehingga penerimaan ne
mantap infonya...
ReplyDeleteoh ya. peapa pengaruh pajak penghasilan badan terhadap laporan keuangan gan?
ReplyDelete