Friday, October 12, 2012

Tentang Pengisian SPT Tahunan Wanita Kawin



Tentang Pengisian SPT Tahunan Wanita Kawin
Pembahasan kali ini merupakan penegasan mengenai pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin yang mempunyai perjanjian pisah harta dan penghasilan atau wanita kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari kewajiban pajak suaminya. Hal ini karena banyaknya pertanyaan terkait dengan pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin.  Meskipun sudah ada buku petunjuk pengisian SPT Tahunan namun memang masih banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi, terutama bagi Wanita Kawin yang telah memiliki NPWP tersendiri.
Berikut ini penegasan yang disampaikan Dirjen pajak melalui SE-29 tsb :
———–quote—————–
a.  bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
b.  Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
c.  Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
d.  Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
e.  Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
——————-end of quote———–
Nb : Menurut saya, point d yang saya kutip  diatas (atau point 3d dari SE-29) tidak sesuai dg ketentuan pasal 8 UU PPh.
Berbicara mengenai NPWP bagi karyawati, dalam praktek, wanita kawin yang memiliki NPWP tersendiri bisa jadi disebabkan hal-hal berikut ini :
  1. Karena memiliki perjanjian pra nikah mengenai pemisahan penghasilan dan harta,
  2. Karena wanita tsb memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari suaminya,
  3. Karena diberikan NPWP yang berbeda dengan NPWP suaminya, misalnya karena didaftarkan secara kolektif melalui pemberi kerja atau karena diberikan NPWP secara jabatan yang berbeda dengan NPWP suami, dan Wanita tsb tidak mengajukan penghapusan (atau perubahan) NPWP.
Pasal 2 ayat 1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban pendaftaran NPWP bagi wanita kawin  sbb :
“Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”.
Penjelasan :
“Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.”
Sesuai dengan penjelasan pasal 2 tsb di atas, wanita kawin yang memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP adalah sbb :
  1. Wanita Kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, atau
  2. Wanita Kawin yang menghendaki pengenaan pajak secara terpisah berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau
  3. Wanita yang memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya.
Sedangkan mengenai perhitungan PPh terutang atas penghasilan suami dan istri, diatur dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya sbb :
1.      Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

2.      Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
3.      Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Penjelasan
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).  Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
-              Suami =  100.000.000,00 : 250.000.000  x Rp27.550.000,00 = Rp 11.020.000
-              Isteri  =  150.000.000,00 : 250.000.000  x Rp27.550.000,00 = Rp 16.530.000
Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya, menurut saya penghasilan istri yang memenuhi kriteria berikut ini :
  1. Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
  2. Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
TIDAK DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN SUAMI.
Dalam formulir SPT PPh WP Orang Pribadi (Form 1770 atau form 1770-S), penghasilan istri dari satu pemberi kerja tsb di atas merupakan penghasilan yang telah dikenakan pajak tersendiri dan bersifat final, sehingga pada saat pelaporan SPT Tahunan, penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan suami, namun tetap diinformasikan dalam SPT Tahunan suami.
Menurut saya, ketentuan tsb (penghasilan istri dari satu pemberi kerja tidak digabungkan dg penghasilan suami) semestinya juga tidak berubah meskipun suami istri tsb memiliki perjanjian pemisahan penghasilan dan harta maupun karena istri memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dengan penghasilan suami.
Jika mengacu pada point 3d SE-29 tsb, maka akan mengakibatkan Suami Istri yang memilih untuk menjalankan kewajiban pajak secara terpisah harus membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami istri yang menjalankan kewajiban pajaknya secara gabungan.
Contoh 1 :
A+ B suami istri yang masing2 telah memiliki NPWP sendiri, sehingga istri dianggap memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri. Keduanya bekerja sebagai karyawan dan belum memiliki anak. Tahun 2009 memperoleh penghasilan sbb : penghasilan neto A (Suami) Rp 200.000.000 sedangkan penghasilan neto B sebesar Rp 100.000.00
jika kita mengacu pada ketentuan 3d SE-29, maka perhitungan PPh terutang bagi A+B dilakukan sbb :
Penghasilan neto gabungan =  300.000.000 (a)
PTKP (K/I/0) = (33.000.000) (b)
Penghasilan Kena Pajak : 267.000.000 (a-b)
PPh terutang : 36.750.000
PPh terutang a/n Suami = Rp 200jt/300jt x Rp 36.750.000 = 24.500.000
PPh terutang a/n Istri = Rp 100jt/300jt x Rp 36.750.000 =Rp 12.250.000
PPh 21 yang telah dipotong pemberi kerja adalah sbb :
a/n  Suami = 22.426.000
a/n Istri  =  7.624.000
Dengan demikian pada akhir tahun (Maret ini) , keluarga A+B harus membayar PPh pasal 29 (PPh kurang bayar) sbb :
a/n Suami = 2.074.000
a/n Istri = 4.626.000
Contoh 2 :
C+D suami istri yang memiliki satu NPWP. Istri menggunakan NPWP anggota keluarga yang sama dg NPWP Suami. sehingga pemenuhan hak dan kewajiban pajak hanya dilakukan  oleh suami. C+D juga belum memiliki anak. Data penghasilan neto tahun 2009 sama dengan penghasilan A&B, masing2 Rp 200 Jt dan Rp 100 Jt.
Perhitungan PPh terutang C dilakukan sbb :
Penghasilan neto = 200.000.000  (a)
PTKP  (K/0) = (17.160.000) (b)
Ph Kena Pajak = 182.840.000 (a-b)
PPh terutang = 22.426.000
PPh 21 dipotong = 22.426.000
PPh kurang dibayar = Nihil
Ph istri telah dikenakan Pajak tersendiri dan bersifat final sbb :
Ph neto = Rp 100.000.000 (a)
PTKP (TK) = (15.840.000) (b)
Ph Kena Pajak = Rp 84.160.000
PPh terutang = Rp 7.624.000
sesuai dg SE-29, hanya karena perbedaan cara pelaporan (cara pemenuhan kewajiban pajak) maka A+B vs C+D harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda (dlm contoh di atas lebih tinggi 22%), padahal kondisi wajib pajak sama-sama berstatus sbg karyawan dg jml tanggungan yang sama dan memperoleh penghasilan yang sama besarnya

No comments:

Post a Comment