Tentang Pengisian SPT Tahunan Wanita
Kawin
Pembahasan
kali ini merupakan penegasan mengenai pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin
yang mempunyai perjanjian pisah harta dan penghasilan atau wanita kawin yang
memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari
kewajiban pajak suaminya. Hal ini karena banyaknya pertanyaan terkait dengan
pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin. Meskipun sudah ada buku petunjuk
pengisian SPT Tahunan namun memang masih banyak pertanyaan yang muncul terkait
dengan pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi, terutama bagi Wanita
Kawin yang telah memiliki NPWP tersendiri.
Berikut ini
penegasan yang disampaikan Dirjen pajak melalui SE-29 tsb :
———–quote—————–
a.
bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas
namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
b. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak,
tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
c. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan
PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan
penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut
dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
d. Penghitungan
PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, berlaku juga bagi wanita kawin
sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh
dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
e. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan
dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah
harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada
akhir tahun pajak.
——————-end
of quote———–
Nb : Menurut
saya, point d yang saya kutip diatas (atau point 3d dari SE-29) tidak
sesuai dg ketentuan pasal 8 UU PPh.
Berbicara
mengenai NPWP bagi karyawati, dalam praktek, wanita kawin yang memiliki NPWP
tersendiri bisa jadi disebabkan hal-hal berikut ini :
- Karena memiliki perjanjian pra nikah mengenai pemisahan penghasilan dan harta,
- Karena wanita tsb memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dari suaminya,
- Karena diberikan NPWP yang berbeda dengan NPWP suaminya, misalnya karena didaftarkan secara kolektif melalui pemberi kerja atau karena diberikan NPWP secara jabatan yang berbeda dengan NPWP suami, dan Wanita tsb tidak mengajukan penghapusan (atau perubahan) NPWP.
Pasal 2 ayat
1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban pendaftaran NPWP
bagi wanita kawin sbb :
“Setiap
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak”.
Penjelasan :
“Semua Wajib
Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self
assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Persyaratan
subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan
objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban
mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan
harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.”
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.”
Sesuai
dengan penjelasan pasal 2 tsb di atas, wanita kawin yang memiliki kewajiban
untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP adalah sbb :
- Wanita Kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, atau
- Wanita Kawin yang menghendaki pengenaan pajak secara terpisah berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau
- Wanita yang memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya.
Sedangkan
mengenai perhitungan PPh terutang atas penghasilan suami dan istri, diatur
dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya sbb :
1. Seluruh penghasilan atau kerugian
bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang
belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
2. Penghasilan suami-isteri dikenai
pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan
putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
3. Penghasilan neto suami-isteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak
berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang
harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan
perbandingan penghasilan neto mereka.
Penjelasan
Sistem
pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam
hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan
atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan
dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan
dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang
telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1.
penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
2.
penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak
A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila
penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar
Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A
dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila
selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 +
Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan
penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).
Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan
ayat (3)
Dalam hal
suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri.
Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan
penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak
sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan
pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara
tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh
pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan
pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya,
pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka
untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai
berikut:
-
Suami
= 100.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp 11.020.000
-
Isteri = 150.000.000,00 : 250.000.000 x Rp27.550.000,00 = Rp
16.530.000
Sesuai
dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya, menurut
saya penghasilan istri yang memenuhi kriteria berikut ini :
- Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
- Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
TIDAK
DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN SUAMI.
Dalam
formulir SPT PPh WP Orang Pribadi (Form 1770 atau form 1770-S), penghasilan
istri dari satu pemberi kerja tsb di atas merupakan penghasilan yang telah
dikenakan pajak tersendiri dan bersifat final, sehingga pada saat pelaporan SPT
Tahunan, penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan penghasilan suami, namun
tetap diinformasikan dalam SPT Tahunan suami.
Menurut
saya, ketentuan tsb (penghasilan istri dari satu pemberi kerja tidak
digabungkan dg penghasilan suami) semestinya juga tidak berubah meskipun suami
istri tsb memiliki perjanjian pemisahan penghasilan dan harta maupun karena
istri memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah dengan
penghasilan suami.
Jika mengacu
pada point 3d SE-29 tsb, maka akan mengakibatkan Suami Istri yang memilih untuk
menjalankan kewajiban pajak secara terpisah harus membayar pajak yang lebih
tinggi dibandingkan dengan suami istri yang menjalankan kewajiban pajaknya
secara gabungan.
Contoh 1 :
A+ B suami
istri yang masing2 telah memiliki NPWP sendiri, sehingga istri dianggap memilih
untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri. Keduanya bekerja sebagai karyawan
dan belum memiliki anak. Tahun 2009 memperoleh penghasilan sbb : penghasilan
neto A (Suami) Rp 200.000.000 sedangkan penghasilan neto B sebesar Rp
100.000.00
jika kita
mengacu pada ketentuan 3d SE-29, maka perhitungan PPh terutang bagi A+B
dilakukan sbb :
Penghasilan
neto gabungan = 300.000.000 (a)
PTKP (K/I/0)
= (33.000.000) (b)
Penghasilan
Kena Pajak : 267.000.000 (a-b)
PPh terutang
: 36.750.000
PPh terutang
a/n Suami = Rp 200jt/300jt x Rp 36.750.000 = 24.500.000
PPh terutang
a/n Istri = Rp 100jt/300jt x Rp 36.750.000 =Rp 12.250.000
PPh 21 yang
telah dipotong pemberi kerja adalah sbb :
a/n
Suami = 22.426.000
a/n
Istri = 7.624.000
Dengan
demikian pada akhir tahun (Maret ini) , keluarga A+B harus membayar PPh pasal
29 (PPh kurang bayar) sbb :
a/n Suami =
2.074.000
a/n Istri =
4.626.000
Contoh 2 :
C+D suami
istri yang memiliki satu NPWP. Istri menggunakan NPWP anggota keluarga yang
sama dg NPWP Suami. sehingga pemenuhan hak dan kewajiban pajak hanya
dilakukan oleh suami. C+D juga belum memiliki anak. Data penghasilan neto
tahun 2009 sama dengan penghasilan A&B, masing2 Rp 200 Jt dan Rp 100 Jt.
Perhitungan
PPh terutang C dilakukan sbb :
Penghasilan
neto = 200.000.000 (a)
PTKP
(K/0) = (17.160.000) (b)
Ph Kena
Pajak = 182.840.000 (a-b)
PPh terutang
= 22.426.000
PPh 21
dipotong = 22.426.000
PPh kurang
dibayar = Nihil
Ph istri
telah dikenakan Pajak tersendiri dan bersifat final sbb :
Ph neto = Rp
100.000.000 (a)
PTKP (TK) =
(15.840.000) (b)
Ph Kena
Pajak = Rp 84.160.000
PPh terutang
= Rp 7.624.000
sesuai dg
SE-29, hanya karena perbedaan cara pelaporan (cara pemenuhan kewajiban pajak)
maka A+B vs C+D harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda (dlm contoh
di atas lebih tinggi 22%), padahal kondisi wajib pajak sama-sama berstatus
sbg karyawan dg jml tanggungan yang sama dan memperoleh penghasilan yang sama
besarnya
No comments:
Post a Comment