Tuesday, January 15, 2013

RSBI dan Pajak

Oleh : Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (sumber : wikipedia.org)
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

 Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Trias van deventer khususnya bidang pendidikan membawa dua dampak sekaligus. Sisi positifnya walaupun bangsa penjajah, belanda menyadari hanya dengan pendidikan mereka dapat mencetak tenaga-tenaga administrasi yang handal. Administrasi dan birokrasi pemerintah kolonial yang masih bisa kita rasakan hingga saat ini adalah bidang hukum dan beberapa sistem administrasi pemerintahan. Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (plat nomor kendaraan) adalah salah satu warisan belanda. Sisi negatifnya, pada masa kolonial pendidikan tersegmentasi antara kaum priyayi/kaya/bangsawan dengan pribumi biasa. Situasi jaman kolonial seolah dihidupkan lagi dengan sistem RSBI beberapa waktu lalu.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sangat tepat sekali. RSBI telah menciderai hak dasar anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang layak guna menunjang masa depan mereka. Kisah yang saya tulis berikut ini adalah kisah nyata yang dialami seorang anak pinggiran yang termarjinalkan karena uang. Ahmad adalah anak cerdas yang terlahir dari keluarga kurang beruntung. Ibunya buruh linting rokok disebuat koperasi mitra perusahaan rokok terkenal di negeri ini. Sedangkan ayahnya hanya seorang nelayan dengan penghasilan tergantung angin dan ombak.

Singkat cerita selepas menyelesaikan pendidikan dari SMP, dia bercita-cita melanjutkan SMA faforit di kota itu. Nilai hasil Unas juga sangat memuaskan dan mendukung untuk masuk ke sekolah tersebut. Namun sayang, pihak sekolah dengan berbagai macam alasan demi kenyamanan ruangan memakai AC, komputer, dll. Orang tua Ahmad tidak mampu memenuhi biaya masuk sekolah yang melangit itu. Dan anak cerdas itupun terdampar di SMK (bukan SMA sesuai cita-citanya) disekolah yang menurut dia kurang favorit.

Sebagai buruh pabrik sebenarnya Ibu Ahmad telah memenuhi kewajiban berpartisipasi membayar pajak pasal 21. Walaupun entah berapa prosentasenya terhadap penerimaan pajak nasional atau penerimaan APBN, namun secara egaliter dia telah sukarela menyumbang negara sesuai kemampuannya. Namun disisi lain sebagai WNI, anaknya ditolak mendapatkan hak akses pendidikan yang lebih baik. Disinilah peran dan eksistensi pemerintah harus melindungi, melayani, dan memfasilitasi para anak bangsa yang ingin berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Sebagaimana membayar pajak adalah hak dan sekaligus kewajiban membela negara, mendapat layanan pendidikan yang bagus adalah hak setiap warga negara sekaligus kewajiban tiap orang untuk memperbaiki dan memperjuangkan masa depannya melalui pendidikan tinggi. RSBI ibarat tirani yang harus diberangus agar akses pendidikan untuk rakyat miskin proletar bisa setara dengan kaum borjuis/priyayi/bangsawan.

Beberapa tahun terakhir pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. Namun sayangnya banyak sekolah yang masih berkutat dengan pembangunan fisik sekolah. Sertifikasi guru dengan tunjangannya, belum optimal digunakan untuk meningkatkan SDM, tapi justru untuk kegiatan konsumtif. Berkaca pada negara dengan tingkat pendidikan tertinggi di dunia (finlandia) kualifikasi guru SD adalah S2. Kita semua sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa dengan tingkat pendidikan yang tinggi. kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda dan bukan mendewakan uang dan kemampuan finansial untuk mengaksesnya. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.

Namun Ingat ! Negara butuh biaya untuk melakukan itu semua. Sebagai penutup tulisan ini, penghapusan RSBI semoga dapat menjadi titik tolak yang menginspirasi setiap kita agar sadar dan tahu  konsekwensi hidup bernegara adalah bergotong royong, pepatah bilang ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Negara memerlukan biaya untuk melaksanakan pendidikan murah, sepatutnyalah warga negara harus sadar dan sukarela membantu negara dengan menyisihkan sedikit penghasilan atau laba usaha untuk membayar pajak.

No comments:

Post a Comment