Monday, January 21, 2013

Subsidi Tidak Ekuivalen Dengan Kesejahterahan (Opini)

Berikut ini ada tulisan menarik dari sdr Aris Nor HamdanAris Nor Hamdan, seorang pegawai Dirjen Pajak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bahan Bakar Minyak merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi kendaraan kita dalam rangka mobilitas manusia sendiri untuk mencapai sebuah tujuan hidup bersosialisasi dengan kehidupan di lingkungan sekitar layaknya sebagai makhluk sosial. Apabila kita melihat perkembangan teknologi hingga saat ini, sudah banyak sekali model transportasi yang bertujuan mempermudah perpindahan seseorang antar daerah tanpa bergantung dengan transportasi umum yang mengalami keterbatasan dalam hal waktu operasi serta armada terlebih saat terjadinya arus mudik maupun arus balik liburan panjang bagi pengembara pulang menuju kampung halaman demi bertemu sanak saudara setelah bekerja di perantauan demi mencari rezeki bagi keluarga yang menjadi tanggungannya.

 Selain itu, Bahan Bakar Minyak juga dibutuhkan dalam hal pengoperasian alat-alat produksi sebuah perusahaan untuk menjalankan roda perekonomian sekaligus pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangaan perpajakan yang berlaku. Timbal balik dari pembayaran pajak sendiri sebagai kontibutor penerimaan terbesar APBN negara ini adalah pembangunan infrastruktur dan prasana guna menunjang mobilitas rakyat Indonesia sekaligus subsidi Bahan Bakar Minyak guna menyejahterakan masyarakat di saat harga minyak dunia semakin meroket tanpa diimbangi kualitas produksi minyak bumi yang terkandung di nusantara nan luas ini.

Subsidi Bahan Bakar Minyak masih dikaji terus menerus oleh badan eksekutif dan legislatif dengan tujuan tidak memberatkan seluruh kalangan ekonomi dengan mempertimbangan harga pasar minyak dunia. Namun, perbedaan masih tampak jelas antara harga solar untuk kendaraan umum dan solar untuk industri di harga pasaran negeri ini. Entah pertimbangan apa yang mendasari perbedaan tersebut, jika ditilik lebih jauh solar merupakan Bahan Bakar Minyak yang sangat bermanfaat dalam segala hal seperti menjalankan alat-alat produksi di dunia pertambangan dan menjalankan mesin genset yang berguna di saat listrik padam maupun tambahan daya listrik yang besar di saat hajatan acara sakral sebuah keluarga seperti pernikahan maupun sunatan. 

Selain itu, solar juga memudahkan pengguna kendaraan bermotor dalam menjalankan mesinnya termasuk speed boat yang melayani penyeberangan antar pulau jarak dekat. Kalau melihat perkembangan daerah baru berkembang seperti di Kabupaten Tanah Bumbu, sudah seharusnya subsidi Bahan Bakar Minyak itu mempercepat perputaran kegiatan ekonomi di daerah ini. Namun pada kenyataannya hal itu tak sejalan dengan harapan masyarakat yang tinggal di kabupaten berusia 9 tahun seperti Tanah Bumbu tersebut. Terbukti masih banyaknya penjual Bahan Bakar Minyak eceran di sekitar SPBU yang beroperasi hanya beberapa jam saja.

Sekitar tahun 1990-an sebelum krisis moneter mendera negara ini, mengingat kondisi alam dan kondisi keamanan Kalimantan yang belum stabil saat itu menimbulkan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam di nusantara ini semakin merajalela sehingga menyebabkan korban jiwa di kalangan masyarakat yang menambang secara tradisional di tempat penambangan hutan pun dihentikan bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru. Namun saat itu harga dan persediaan solar masih normal serta sistem distribusi masih tergolong sederhana dengan metode penyimpanan solar di tangki yang mendiami gudang dan pembelian dapat berasal dari Depo Pertamina maupun kapal tangker dengan cara jemput bola ke tengah lautan sekitar 30-40 mil dari daratan. Untuk metode jemput bola sendiri, koordinasi antara distributor dengan kapten kapal sangat rapi supaya dapat menentukan koordinat kapal tangker bertemu dengan kapal tangki yang dibawa oleh distributor guna melakukan transaksi 30 ton solar per perjalanan pengangkutan.

Sebenarnya kapal tangker itu membawa solar dari depo pusat seperti Balikpapan menuju depo cabang di Kotabaru, namun kuota tangkinya selalu melebihi dari jumlah yang seharusnya diangkut sehingga kelebihan tersebut dapat diperjualbelikan kepada distributor. Selisih hargapun tergolong mengiurkan bagi para distributor semisal saja harga dari depo 450 per liter sedangkan harga di tangker bisa mencapai 300 per liter. Sedangkan muat tangker itu biasanya 150.000 ton namun order mungkin sekitar 100.000 ton saja setiap kali angkut jadi keuntungannya mencapai puluhan juta untuk transaksi langsir tersebut.

Sistem langsir merupakan sistem penjualan Bahan Bakar Minyak dengan metode masyarakat membeli Bahan Bakar Minyak dari SPBU menggunakan jerigen, maupun mobil yang sudah dimodifikasi mengangkut BBM kemudian dijual kepada penambang ilegal dengan harga lebih tinggi hingga mencapai harga Rp 7.000 per liter. Sedangkan Sistem Penjualan di tengah laut merupakan sistem penjualan kapal transporter BBM dan kapal-kapal Pertamina kepada kapal industri maupun kapal perusahaan dimana transaksi terjadi seketika dan sekaligus itu juga artinya pembayaran berupa uang tunai menggunakan koper.

Pemilik SPBU yang menyalurkan solar bersubsidi terkadang menjual sebagian kepada industri tanpa menggunakan nota penjualan, bukti penjualan maupun faktur pajak sehingga transaksi tersebut tidak dilaporkan dalan laporan keuangan.  Jadi transaksi tidak sesuai dengan Delivery Order yang seharusnya disesuaikan dengan pesanan yang telah dijanjikan sebelumnya.  Dampak negatif dari transaksi seperti ini adalah ketika sebuah SPBU hanya beroperasi dalam hitungan jam saja per hari yaitu ketika sebuah tangki pengantar datang dan dalam waktu bersamaan sudah banyak pengantri solar yang telah menunggu sejak beberapa jam sebelumnya. Padahal di sekitar SPBU masih terdapat stok solar yang melimpah yaitu di pedagang Bahan Bakar Minyak yang telah tertimbun demi memperoleh keuntungan yang melimpah.

Kalau dilihat dari aspek perpajakan, bukti laporan keuangan saat dianalisa tidak dapat ditemukan transaksi ilegal solar tersebut karena transaksi uang tidak ada dalam laporan keuangan seperti melalui transfer bank melainkan hanya berupa uang tunai.  Sebenarnya, transaksi ilegal solar tersebut sudah dianggarkan tersendiri oleh perusahaan terbukti dari adanya pos-pos pendanaan yang digunakan untuk pembiayaan keamanan transaksi ilegal kepada pihak berwenang yang berada di wilayah kerja mulai dari tingkat terendah hingga pihak komando militer  di daerah sekitarnya.  Jadi transaksi ilegal seperti ini memang benar-benar terjadi di dunia industri namun hal ini penerapannya tidak dapat dibuktikan secara teori tetapi kenyataan di lapangan masih saja terdapat transaksi ilegal biasanya dilakukan di dalam hutan di gunung maupun jalan raya saat dini hari sehingga merugikan pengguna solar lainnya yang benar-benar membutuhkan demi mobilitas di daerah Kalimantan lainnya yang teramat jauh untuk mencapai daerah lainnya.

Fungsi Subsidi untuk Kemandirian bangsa sebenarnya dapat benar-benar tercapai jika semua pihak berperan serta dalam bidang perpajakan dengan asas kejujuran dan akuntabiltitas tinggi sehingga Penerimaan Negara akan tertolong dengan setoran pajak yang terus meningkat dari kebutuhan APBN. Namun seiring dengan berjalannya waktu ke depan seperti ini, mungkin agak sulit untuk memberantas praktek penjualan solar ilegal ini karena masih adanya pihak yang tidak bertanggung jawab atas pemanfaatan wewenang atas tugasnya. Subsidi BBM yang bertujuan menyejahterakan rakyat malah menjadi bumerang bagi Negara ini ketika praktek ilegal tersebut hanya menguntungkan pihak swasta yang lupa akan kewajiban perpajakannya. Salah satu jalan keluar dari masalah ini adalah penghapusan subsidi BBM, sehingga tidak ada perbedaan harga antara solar kendaraan dan solar industri demi mengurangi praktek ilegal atas penjualan solar.

Semoga dewan eksekutif dan legislatif mendengarkan keluhan rakyat atas langkahnya Bahan Bakar Minyak di negeri nan kaya minyak ini. Apabila pengelolaan minyak negara ini berjalan dengan baik dan benar maka tidak mustahil jika Indonesia menjadi negara makmur seperti Negara-negara Arab, namun tujuan itu belum tercapai secara tepat karena praktek ilegal seperti ini masih merajalela dan sulit diadili atas perbuatannya. Semoga pelaku industri di Indonesia introspeksi diri atas segala tingkah laku yang tak sesuai dengan aturan perundang-undangan  perdagangan yang berlaku di negara ini.

No comments:

Post a Comment