Mungkin ini
bisa menjadi berta gembira bagi karyawan atau pengusaha kecil.
Berita gembira itu adalah
kenaikan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak).Terhitung mulai 1 Januari 2013
pemerintah telah menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak yang semula Rp
15.840.000,00 kini dinaikkan menjadi Rp
24.300.000,00 per tahunnya atau per bulan
Rp 2.025.000,00 untuk setiap wajib pajak lajang. Sedangkan tambahan bagi
yang menikah dan tambahan tanggungan yang dulunya hanya Rp 1.320.000 kini
dinaikkan masing-masing menjadi Rp 2.025.000,00.
Kebijakan menaikkan
PTKP ini terbilang cukup berani terutama ditengah kondisi target penerimaan
pajak yang tak kunjung tercapai. Kenaikan PTKP ini akan berpotensi menggerus
penerimaan pajak penghasilan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa PTKP adalah unsur
pengurang dalam penghitungan pajak penghasian orang pribadi. Dengan semakin
besarnya pengurang, maka pajak akan semakin kecil.
Gonjang-ganjing
kenaikan PTKP akhirnya berlalu sudah. Isu mengenai kenaikan PTKP sebenarnya
sudah cukup lama berseliweran di telinga pengusaha dan pekerja. Setelah melalui
pembahasan yang alot dengan DPR akhirnya pemerintah menetapkan kenaikan PTKP
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK-162/PMK.011/2012 tanggal 22
Oktober 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2013. Jika dihitung, maka
setiap wajib pajak orang pribadi di Indonesia yang memiliki penghasilan bersih
Rp 2 juta kebawah tidak akan dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
Ditengah perlambatan
ekonomi gobal kebijakan menaikkan PTKP justru diambil untuk meningkatkan daya
beli masyarakat. PTKP identik dengan standar biaya hidup. Tidak dikenakannya
pajak atas penghasilan akan membuat masyarakat lebih bisa menikmati hasil jerih
payahnya dalam bentuk konsumsi maupun tabungan. Harapan pemerintah adalah
dengan semakin besarnya penghasilan dibawa pulang (take home pay) akan
mendorong kenaikan tingkat konsumsi rakyat.
Ada jenis pajak lain
yang dikenakan dibalik konsumsi masyarakat tersebut, yaitu PPN (Pajak
pertambahan Nilai). PPN merupakan pajak
yang dikenakan dengan besar 10% atas setiap konsumsi barang dan jasa yang
dilakukan di dalam negeri. Peningkatan jumlah konsumsi masyarakat ini pada
akhirnya akan menambah PDB (produk domestik bruto). Menurut hitungan BKF,
kontribusi PTKP terhadap pertumbuhan PDB sekitar 0,1% sehingga apabila PTKP
dinaikkan, maka daya beli masyarakat juga akan meningkat. Dari sini kita
pahami, pemerintah sepertinya mengorbankan potensial loss di sektor PPh dan
menggantinya dengan jenis pajak atas konsumsi masyarakat. Bahkan menurut ketua
BKF ada kekurangan penerimaan negara sebesar 9 triliun dengan kenaikan PTKP
ini.
Ledakan Orang Kaya Baru
Pertumbuhan OKB atau
yang biasa disebut dengan kelas menengah Indonesia adalah yang terbesar di
dunia setelah China dan India.Menurut Bank Dunia, kelompok ini adalah mereka
yang pengeluaran per kapita per harinya US$ 2-20, maka terdapat
sekurang-kurangnya 130 juta orang. Angka itu 56,5 persen dari total penduduk
Indonesia.
Pertumbuhan kelas menengah
ini merupakan sasaran empuk para pembuat produk. Rata-rata mereka adalah orang
muda yang berpenghasilan tinggi (US$3000-US$3500 per tahun), melek teknologi,
dan ingin serba mudah. Sebagian besar dari mereka adalah warga yang gemar
berbelanja.
Kenaikan PTKP ini
sepertinya diharapkan untuk menciptakan multiflyer effect dibidang perpajakan.
Semakin banyak orang yang berbelanja akan membuat korporasi penghasil produk,
berlomba-lomba menghasilkan produk barang dan jasa untuk dikonsumsi. Sehingga
omzetnya bertambah demikian juga dengan labanya yang kemudian nantinya akan
dipajaki. Pajak yang terkumpul dalam pundi-pundi APBN pun akan meningkat dan
harapannya mampu mencapai target sebagaimana yang dibebankan tersebut.
Tapi benarkah
multiflyer effect ini akan berjalan semudah itu? Mengumpulkan pajak di negeri
yang birokrasinya tengah karut-marut memang tidak mudah. Pemerintah masih
mempunyai pekerjaan rumah untuk menata basis data wajib pajak yang ada di
Indonesia. Sistem pemungutan PPN sendiri pun masih harus disempurnakan. Banyaknya
faktur pajak fiktif masih mewarnai permasalahan PPN di negeri ini. Bercermin
dari tahun 2011 dimana penerimaan PPN hanya tercapai 93,06% atau hanya mampu
menyentuh angka Rp 277,73 triliun dari target sebesar Rp 298,44 triliun.Jangan
sampai terjadi tingkat konsumsi masyarakat meningkat tapi tidak diimbangi
dengan penerimaan PPN akibat lihainya korporasi memanfaatkan celah lowong PPN.
Setali tiga uang dengan sektor PPh, korporasi besar memiiki jago-jago dibidang
transfer pricing yang memiliki kemampuan memanfaatkan grey area aturan pajak
untuk menciutkan pajak penghasilan yang mereka bayar agar menjadi lebih
sedikit.
Kenaikan PTKP ini
sejatinya akan dinikmati oleh mereka para pekerja dan buruh yang penghasilan
bersihnya 2 juta kebawah. Kenaikan PTKP ini hanya sedikit diatas UMK (upah
Minimum Kota) yang rata-rata masih berkisar antara 1,3 -1,5 juta setiap
bulannya. Untuk Kota Medan sendiri UMK baru saja dinaikkan untuk tahun 2013
menjadi Rp 1,46 juta setelah sebelumnya pada tahun 2012 hanya Rp 1.285.000. Para
pekerja dan buruh inilah yang menjadi sasaran dari pembebasan pengenaan pajak
penghasian. Diharapkan jumlah buruh yang mencapai 46 juta orang itu dapat
menikmati insentif pajak sehingga memiliki penghasilan yang relatif mencukupi
untuk dikonsumsi bagi seluruh anggota keluarga.
Kenaikan PTKP ini
sangat berarti bagi buruh di Indonesia. Meskipun tak lantas mampu mengurai
masalah ketenagakerjaan yang ada. Penghapusan sistem alih daya (outsourcing)
yang mengabaikan hak-hak pekerja, kenaikan upah minimum merupakan persoalan
utama yang belum diatasi di bidang ketenagakerjaan.
No comments:
Post a Comment