Berikut adalah tulisan salah seorang pengamat pajak yang saya sadur dan ingin saya bagikan ke anda semua. "Total gaji masih di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetapi
mereka diharuskan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Adakah ini
sebuah penggalian potensi perpajakan atau hanya menambah beban kerja
para guru honorer dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)? Pikirin lagi deh!
Lika-liku guru honorer sudah bukan hal tabu lagi. Mereka yang dengan
kedigdayaan dan keuletan terus mencoba meningkatkan pendidikan putra
bangsa. Namun, mereka harus rela bertahun-tahun tetap menunggu kepastian
kapan mereka diangkat sebagai bagian dari Pegawai Negeri Sipil. Selama
masa penantian yang tak tahu kapan ujungnya itu, mereka hanya bergelut
dengan honor yang hanya di kisaran seratus hingga lima ratus ribu
rupiah. Jelas tak mampu dibandingkan dengan jasa yang telah mereka
berikan. Ironis memang.
Bak angin segar. Ratusan guru honorer di wilayah Tegal dan Brebes
dijanjikan akan mendapat tunjangan dari dinas terkait sebesar tiga ratus
ribu rupiah. Untuk beberapa kalangan, nilai tersebut bukan hal yang
besar, tetapi akan berbeda buat mereka yang dengan sabar mendapat honor
pas-pasan. Tunjangan itu rencananya akan diberikan dengan sistem rapel
tiga atau enam bulan sekali.
Untuk mereka yang paham tentang PTKP mungkin akan berpikir ulang
dengan syarat yang harus dipenuhi oleh guru honorer tersebut. Guru
honorer yang akan mendapatan tunjangan diharuskan memiliki NPWP. Petugas
NPWP pun telah berusaha menjelaskan tentang PTKP dan lain hal kepada
para guru honore tersebut. Namun, mereka tetap meminta untuk dibuatkan
NPWP dengan berkata, “mau gimana lagi mba, kalau ga punya NPWP,
tunjangannya ga bakal cair.” Dengan dimilikinya NPWP, mereka akan resmi
sebagai Wajib Pajak. Namun, dengan total penghasilan yang umumnya masih
di bawah PTKP, hendaknya kebijakan ini perlu ditelaah ulang.
Dengan total penghasilan yang umumnya masih di bawah PTKP ini, syarat
untuk memiliki NPWP agaknya cukup berlebihan. Mereka masih belum
dikenai pajak. Namun, dengan alasan karena dana berasal dari APBN,
mereka diwajibkan memiliki NPWP.
Dengan ketidakpastian kapan mereka akan diangkat, tentunya mereka
harus terus melaksanakan kewajiban perpajakannya minimal melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tentu hal ini bukan perkara besar
mengingat agenda ini hanya setahun sekali. Namun, akan menjadi sebuah
persoalan ketika si guru honorer atas kelalaiannya lupa atau terlambat
melaporkan SPT Tahunan. Sanksi sebesar seratus ribu rupiah tentunya akan
menjadi persoalan yang cukup pelik untuk mereka dengan honor pas-pasan.
Tambah lagi, dampak psikologi yang akan muncul yakni ketakutan yang
berlebihan terhadap kewajiban perpajakan. Beberapa yang terjadi di
lapangan adalah beberapa wajib pajak datang di akhir periode perpajakan
untuk melapor SPT Tahunan, sedangkan tahun pajak yang bersangkutan
belum berakhir. Alasan mereka adalah jika nantinya telat atau lupa
melapor SPT, sehingga selagi ingat mereka datang ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP).
DJP pun akan terkena imbaas, yakni peningkkatan beban kerja.
Peningkatan beban kerja ini terjadi mulai dari pendaftaran NPWP yang
menumpuk. Penumpukan ini berakibat pada bertambahnya jumlah jam kerja
dan koordinasi yang matang untuk mengatur ruang TPT yang terbatas agar
mampu menampung para pendaftar yang berjubel. Dampak selanjutnya adalah
meningkatan jumlah SPT Tahunan yang akan diolah. Dengan alur DropBox
yang cukup panjang, tentu saja pertambahan jumlah WP akan berpotensi
meningkatkan beban kerja. Tambah lagi, jika ternyata banyak yang tidak
melapor SPT Tahunan, KPP tersebut akan mendapat predikat tingkat
kepatuhan terburuk.
Perlu sebuah dialog antara DJP dengan instansi terkait yang membuat
kebijakan sehubungan dengan perpajakan. Dengan adanya pembicaraan antar
instansi, diharapkan dapat ditemui titik temu yang lebih bijak untuk
menengahi kondisi-kondisi di tiap instansi yang kadang berbeda. DJP
perlu lebih aktif untuk menggali info-info terbaru tentang kondisi yang
terjadi di masyarakat yang diantaranya lewat para pegawai di lini
terdepan seperti petugas Pelayanan Terpadu (TPT). Selain itu, perlu juga
peran serta masyarakat untuk lebih aktif memberikan info terkait
perpajakan kepada DJP sehingga DJP semakin aktif membuat atau
mengupgrade peraturan sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.
Kejadian lain yang hampir serupa adalah beberapa lembaga masyarakat
juga diharuskan memiliki NPWP dikarenakan akan mendapatkan bantuan dari
Pemerintah Daerah. Seperti yang terjadi pada Taman Pendidikan AlQur’an
(TPQ) Nurul Hidaya yang beralamat di Desa Pengabean Kecamatan Dukuhturi
Kabupaten Tegal. Awalnya TPQ ini hanya berusaha mengajukan proposal dan
berhasil mendapatkan bantuan sebesar sepuluh juta rupiah dengan syarat
memiliki NPWP. Dengan dimilikinya NPWP dan TPQ tersebut masih berjalan,
setelah dana habis dan kewajiban pajak terpenuhi, tentu saja pengurus
TPQ harus terus melakukan kewajiban perpajakan lanjutan yakni melaporkan
SPT Masa dengan status yang sama selama berbulan-bulan, yaitu NIHIL.
Penghasilan mereka hanyalah berasal dari iuran dengan total sekitar
empat ratus ribu rupiah. Jumlah ini didunakan untuk keperluan harian dan
honor lima orang pengajar.
Ketakutan mereka terus bertambah tatkala
mereka lupa melapor SPT Masa atau Tahunan. Dari mana mereka mendapat
dana seratus ribu atau satu juta rupiah jika lupa melapor SPT Masa atau
Tahunan. Kebijakan ini dianggap terlalu berlebihan. Bisa dikatakan,
“enaknya sebentar, repotnya tahunan!” hal serupa juga terjadi pada
paguyuban-paguyuban yang akan dan telah mendapatkan bantuan. Untuk
mereka yang telah berpengalaman, banyak yang berpendapat “lebih baik
tidak mengajukan bantuan dari pada repot mengurus kewajiban perpajakan
bertahun-tahun.”
Sumber : Pajak Untuk Semua
No comments:
Post a Comment